Syarat Sah Pernikahan


     Pernikahan merupakan suatu ibadah yang sakral dalam kehidupan beragama. Dan agama Islam meletakkan pernikahan dalam satu paket aturan yang harus dilaksanakan dalam pernikahan atau dalam istilah agama adalah rukun dan syarat-syarat pernikahan.
          Suatu pernikahan dianggap sah jika memenuhi rukun dan syarat-syarat nikah. Adapun rukun nikah dan syarat nikah adalah:
a.       Wali Nikah
Perwalian dalam perkawinan merupakan suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri.
           Para ulama madzhab kecuali Imam Hanafi, sepakat bahwa wali adalah salah satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan, jika tak ada wali itu. Oleh sebab itu, perkawinan yang dilakukan dengan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
           “ Menurut Imam Hanafi wali, itu syarat perkawinan untuk mengawinkan perempuan yang belum baligh (masih kecil) atau perempuan gila. Perempuan yang baligh dan berakal tidak perlu memakai wali, bahkan ia boleh mengawinkan dirinya sendiri asal kepada laki-laki yang sejodoh dengan dia, kalau ia kawin dengan laki-laki yang tidak sejodoh dengan dia, maka walinya berhak memfasakhkan perkawinan itu.
           Jika hal ini disandarkan pada hadits Ibnu Majah bahwa saksi merupakan suatu keharusan sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل {رواه ابن ماجه}
Artinnya bahwa;                                                                                              
         Wanita manapun yang menikah tanpa seizing walinya, maka nikahnya    batil/batal/tidak sah.” (H.R. Ibnu Majah)
         Terjadinya silang sengketa pendapat para ulama yang memiliki sandaran hukum di atas, maka pernikahan dengan izin wali merupakan bentuk kesopanan dan penghormatan atas tanggung jawab dan pemeliharaan orang tua terhadap anak. Orang tua secara umum menginginkan anaknya bahagia karena kebahagiaan anak merupakan harapan orang tua. Diharapkan dengan restu wali adalah doa dan kerelaannya melepaskan tanggung jawab atas anaknya kepada bakal calon suami.
           Diharapkan dengan persetujuan wali, keharmonisan keluarga dapat dijalin dengan baik. Dan ini merupakan kemaslahatan bersama, yang patut untuk dilaksanakan.
           Para ulama madzhab juga sepakat bahwa syarat-syarat orang boleh menjadi wali adalah:
          1. “ Beragama Islam (orang kafir tidak sah menjadi wali).
          2.  Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali).
          3.  Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali).
          4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali).
          5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali).”

          Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali secara berurut-urutan adalah:
           1. Bapak, kakek dan seterusnya sampai ke atas.
           2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak).
           3. Saudara laki-laki sebapak.
           4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
           5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya sampai ke bawah.
6.      Paman (saudara dari bapak) kandung.
7.      Paman (saudara dari bapak) sebapak.
8.      Anak laki-laki paman kandung.
9.      Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya sampai ke bawah.

b.      Saksi dalam perkawinan
Perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan. Sebab itu harus dihadiri oleh dua orang saksi. Hikmahnya adalah kemaslahatan kedua belah pihak. Apabila ada tuduhan dan kecurigaan masyarakat terhadap pergaulan keduanya, maka dengan mudah keduanya dapat mengemukakan saksi tentang perkawinan itu.
             Dengan demikian suami tak mudah memungkiri istrinya, sebagaimana istri tidak dapat memungkiri suaminya dan suaminya tidak dapat menolak dengan mengatakan ini bukan anaknya.
c.       Syarat-syarat Saksi Dalam Perkawinan
             Dalam menjalankan tugasnya sebagai saksi dalam akad nikah, maka perlu syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kesaksian itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan baik untuk saksi sendiri dan bagi akad nikah yang telah dilangsungkan.
Adapun syarat-syarat orang untuk menjadi saksi secara umum yang berlaku dalam segala aspek dalam hukum Islam adalah: 
a.)    Islam
Oleh sebab itu tidak diperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang muslim. Kecuali dalam hal wasiat di tengah perjalanan. Yang demikian itu diperbolehkan oleh Imam Abu Hanifah, Syuraih, dan Ibrahim An-Nakha’i.
Asy-Syafi’i dan Malik berkata: tidak diperbolehkan kesaksian orang kafir atas orang muslim, baik dalam persoalan wasiat di perjalanan ataupun yang lainnya.
b.)    Laki-laki
Menurut Ulama Syafi’i dan Hambali, saksi harus laki-laki, menurutnya seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan tidak sah dalam perkawinan.  Sedang menurut Hanafi tentang saksi perempuan, bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan dalam pernikahan adalah sah mengacu pada ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh: 282.     
c.)    Dewasa / baligh dan berakal
Apabila baligh syarat diterimanya kesaksian, maka baligh dan berakal adalah syarat di dalam keadilan.
Oleh sebab itu, anak kecil tidak boleh menjadi saksi, walaupun dia bersaksi atas anak kecil yang seperti dia, sebab mereka kurang mengerti kemaslahatan untuk dirinya, lebih-lebih untuk orang lain. Begitu pula kesaksian orang gila dan orang yang tidak waras, sebab kesaksian mereka ini tidak membawa kepada keyakinan yang berdasarkan kepadanya perkara dihukumi.
d.)   Adil
Kaum muslim telah sepakat bahwa keadilan menjadi syarat dalam penerimaan kesaksian. Oleh sebab itu, maka kesaksian orang fasik tidak diterima dan orang-orang yang terkenal kedustaan atau keburukan dan kerusakan akhlaknya.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tentang keadilan itu cukup dengan lahirnya Islam dan tidak diketahui adanya cela padanya. Akan tetapi apabila kefasikannya disebabkan oleh tuduhan mengenai hak orang lain, maka kesaksian nya tidak diterima.
Berbeda dengan Imam Syafi’i dan Hambali, Mereka berpendapat bahwa syarat saksi itu harus adil. 
e.)    Dapat mendengarkan dan melihat, memahami ucapan-ucapannya, jika para saksi buta, maka hendaklah mereka bisa mendengarkan suara dan mengenal betul bahwa suara tersebut adalah suaranya kedua orang yang berakal.
Dalam hal ini kaitannya mengenai syarat saksi Imam Hanafi, mengajukan syarat-syarat yang harus ada pada seseorang yang menjadi saksi adalah berakal, orang gila tidak sah  menjadi saksi, baligh, tidak sah saksi anak-anak, merdeka, bukan hamba sahaya, Islam, keduanya bukan berasal dari satu keturunan yang akan disaksikan.
Sedang menurut Imam Syafi’i memberikan persyaratan yang harus dipenuhi bagi seorang yang akan menjadi saksi adalah dua orang saksi, berakal, baligh, beragama Islam, mendengar tidak tuli, dan adil.
Imam Abi Syuja’ mengatakan bahwa kesaksian seseorang tidak dapat diterima kecuali jika memenuhi lima syarat yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, dan adil. Salah satu mainstream (arus utama) yang sekarang digugat oleh aktivis gerakan perempuan adalah masalah saksi dalam peradilan Islam, yakni yang mendudukkan satu laki-laki disamakan dengan dua orang perempuan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 25, bahwa yang dapat menjadi saksi ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna-rungu atau tuli.
d.      Dasar hukum saksi dalam al-qur’an dan hadits
Adapun dasar hukum saksi dalam Al-Qur’an dan hadits surat al-baqoroh (2) : 282 yang artinya “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkan nya.
Adapun hukum kesaksian itu adalah fardhu ain bagi orang yang memikul nya bila dia dipanggil untuk itu dan dikhawatirkan kebenaran akan hilang; bahkan wajib apabila dikhawatirkan lenyapnya kebenaran meskipun dia tidak dipanggil untuk itu, karena Allah Ta’ala berfirman yang artinya “….Janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian; dan barang siapa menyembunyikannya, maka ia adalah orang yang berdosa hatinya.(Al-baqoroh 283 )