Sebelum peraturan perundang-undangan terbentuk, terjadi suatu
proses pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu dengan membuat rancangan
peraturan perundang-undangan (RUU), DPR memegang kekuasaan membentuk
undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal
dari DPR, Presiden, atau DPD.
DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Apabila ada 2 (dua) RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu Masa
Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan
oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. RUU yang sudah
disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi
undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU yang sudah
disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR
mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah
disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis
yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR
dengan Surat Pengantar Presiden yang menyebut juga Menteri yang mewakili
Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut. Dalam Rapat Paripurna
berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, kemudian Pimpinan DPR
memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya
kepada seluruh Anggota. Terhadap RUU yang terkait dengan DPD disampaikan kepada
Pimpinan DPD.Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian
RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang
mewakili Presiden.
RUU beserta
penjelasan/keterangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari DPD
disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR, kemudian
dalamRapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR
memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada
seluruh Anggota. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan
kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD
tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna.
Bamus
selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan
mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi
atau Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya
1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil
pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna.
RUU yang telah
dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan
permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam
melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk
ikut membahas RUU tersebut. Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya
surat tentang penyampaian RUU dari DPR,Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi
mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam
dua tingkat pembicaraan di DPR.
Dalam konteks
pembetukan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan pasaal 54 Undang-undang
No. 10 tahun 2004 yang berbunyi “Masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
undang-undang dan rancangan Peraturan Daerah” masyarakat dapat
berperan dalam memberikan masukan secara lisan ataupun tulisan mengenai isi
suatu Rancangan Undang-undang (RUU).
Menurut
Pasal 7 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyatakan tentang jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan, yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden;
e.
Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan
Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama
gubernur;
b. Peraturan
Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota;
c.
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa
atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/peraturan yang setingkat
diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum
Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1).
Dalam penjelasan Pasal 7 dinyatakan bahwa Ayat (1), Ayat (2)
huruf b dan huruf c, serta Ayat (3) dan Ayat (5) adalah “cukup jelas”,
sedangkan ayat-ayat yang diberi penjelasan antara lain:
Ayat (2)
Huruf a: Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang
berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi
yang berlaku di provinsi Papua.
Ayat (4)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain,
peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau
pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati,
Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dari pasal 7 Undang-undang No 10
tahun 2004 dapat diketahui bahwa kedudukan Peraturan perundang-undangan berada
dibawah Undang-undang dasar tahun 1945, semua peraturan eraturan perundang-undangan
yang dibentuk tidak diperbolehkan bertentangan dengan undang-undang dasar tahun
1945.
Posting Komentar
Posting Komentar