Omnibus Law Cipta Kerja: Peneguhan Hukum sebagai Instrumen Akumulasi Kapital
DENGAN waktu penyusunan yang relatif singkat, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka) sebagai undang-undang, Senin (5/10/2020). Mengikuti jejak revisi Undang-Undang Minerba, peraturan yang disusun dengan metode omnibus ini juga memanfaatkan masa pandemi COVID-19 untuk mengurangi kebisingan dan penolakan dari kelompok penolak, mulai dari mahasiswa, aktivis LSM, serikat buruh hingga rakyat pekerja secara luas.
Telah banyak pihak menyampaikan kekhawatiran atas substansi dari undang-undang ini. Mengingat cakupannya yang luas dan kompleks, perhatian atas UU Cipta Kerja cenderung parsial: fokus pada klaster-klaster tertentu. Kelompok buruh, misalnya, fokus mengkritisi pasal-pasal pada klaster ketenagakerjaan; sedangkan aktivis lingkungan memberikan perhatian lebih besar terhadap dampak undang-undang sapu jagat ini bagi lingkungan; dan seterusnya. Tentu tidak ada yang keliru dari itu karena kelompok sosial dalam masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda dalam melihat undang-undang ini. Namun demikian, pembacaan parsial akan sulit menghasilkan gambaran menyeluruh yang menjadi perekat antara kepentingan dari masing-masing kelompok.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya mencoba memberikan gambaran yang lebih koheren atas UU Cipta Kerja.
Pembacaan teoretis penting untuk memberikan penjelasan bagaimana penyusun regulasi melihat masalah dan menawarkan jalan keluarnya melalui undang-undang. Pada titik inilah telaah atas Naskah Akademik (NA) dibutuhkan untuk menguji urgensi filosofis, sosiologis dan yuridis dari undang-undang dimaksud. Saya akan memfokuskan pembahasannya pada aspek metode dan kerangka teoritis yang digunakan dalam NA.
Tulisan ini merupakan pemutakhiran opini berjudul “Menguji Landasan Teori RUU Cipta Kerja” yang saya unggah di media sosial pada Maret lalu.
Kerangka Teori UU Cipta Kerja
Saya mengidentifikasi dua teori dominan yang diasumsikan dalam NA. Pertama adalah Doktrin Hukum dan Pembangunan (Law and Development Doctrine) yang digunakan untuk membangun hubungan antara hukum dan ekonomi (kapitalisme) dalam konteks makro. Kerangka teori yang kedua adalah Analisis Ekonomi atas Hukum (Economic Analysis of Law) yang digunakan sebagai pisau analisis mikro terhadap pasal-pasal dalam undang-undang terkait agar sejalan dengan penciptaan iklim investasi yang efisien.
Doktrin Hukum dan Pembangunan bertumpu pada tesis klasik Max Weber dalam bukunya Economic and Society. Weber (1978, 1394) menyatakan bahwa, “kapitalisme modern menumpukan usahanya pada kemampuan kalkulabilitas dari sistem hukum dan administrasi, yang mana fungsinya dapat diprediksi secara rasional…berdasarkan pada norma umumnya yang ajeg, bekerja layaknya sebuah mesin.” Dalam pandangannya, perkembangan kapitalisme mensyaratkan instrumen dan institusi hukum yang formal-rasional sehingga mampu memberikan perhitungan (calculability) dan prediksi (predictability).
Di era 1950an, tesis ini berkembang menjadi mazhab hukum baru di Amerika Serikat bernama Law and Development (Hukum dan Pembangunan), sebagai subset dari Teori Modernisasi. Secara sederhana, sebagaimana diungkapkan oleh Talcott Parsons, teori ini percaya bahwa ketertinggalan negara-negara berkembang disebabkan oleh fitur-fitur hukum dan kelembagaan yang masih tradisional. Untuk itu dibutuhkan transplantasi maupun duplikasi fitur-fitur modern, termasuk substansi dan institusi hukum.
Mazhab ini mengalami pasang surut dan mengalami tiga momen perubahan paradigmatis demi mengatasi kegagalan demi kegagalan. Pertama, periode Law and Development State (1950an-1970an) yang menumpukan pertumbuhan ekonomi melalui peran negara. Di sini, hukum digunakan sebagai instrumen bagi negara untuk melakukan intervensi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Periode kedua berlabel Law and Neoliberal Market (1980an-1990an) yang dipengaruhi oleh neoliberalisme versi Washington Consensus. Di sini hukum menjadi sarana deregulasi dan privatisasi untuk memperluas jangkauan pasar. Para periode ini pula terjadi serial krisis yang membuktikan kegagalan pasar, termasuk krisis moneter akhir 1990an di Indonesia.
Berangkat dari kegagalan sebelumnya, Doktrin Hukum dan Pembangunan bermetamorfosis ke dalam periode ketiga (2000an-sekarang) yang disebut Neoliberalisme Inklusif. Periode termutakhir ini dipengaruhi oleh pandangan Neo-Institutional Economics (NIE) dan konsep pembangunan inklusif yang mengikuti anjuran Amartya Sen. Di sini, institusi hukum didesain sebagai sarana mencegah kegagalan pasar dan pembangunan didorong untuk melampaui ekonomi dengan mengakomodasi aspek sosial dan lingkungan yang menjadi jaring pengaman bagi keberlanjutan ekonomi pasar.
Di ranah akademis, hubungan hukum dan ekonomi yang dinilai aksiomatis oleh para penganut Doktrin Hukum dan Pembangunan sebenarnya masih terus mengalami perdebatan. Dilihat lebih dalam, doktrin tersebut memiliki kontradiksi internal. Di satu sisi, hukum dijadikan instrumen bagi negara dan pelaku ekonomi untuk memprediksi kerja hukum yang pada gilirannya digunakan dalam mengkalkulasi tindakan bisnisnya. Namun di sisi lain, instrumentalisasi hukum ini mensyaratkan adanya formalisme hukum dalam bentuk norma yang pasti dan bekerja secara mekanistik. Dengan kata lain, dalam Doktrin Hukum dan Pembangunan, kepastian hukum merupakan selubung untuk menutupi agenda instrumentalisasi hukum dalam rangka akumulasi kapital sehingga tidak mengherankan jika mantra ‘kepastian hukum’ paling sering dilafalkan oleh negara dan pelaku usaha.
Dalam cakrawala teoretis tersebut, NA UU Cipta Kerja terbaca sangat problematik. Dari sisi empiris, Indonesia pasca-otoritarianisme telah masuk ke dalam periode Neoliberalisme Inklusif. Ini ditandai dibangunnya kelembagaan hukum mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang difungsikan untuk menciptakan level playing field dan memberantas ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh korupsi.
Alih-alih melanjutkan perbaikan dan penguatan institusi yang sudah dibentuk, melalui UU Cipta Kerja, negara kehilangan kepercayaan terhadap Neoliberalisme Inklusif dan mengambil langkah memutar balik.
Secara konseptual, NA masih menggunakan kerangka pikir kepustakaan Law and Neoliberal Market. Hal ini tercermin dari dirujuknya tesis Leonard J Theberge (1980) yang menekankan pentingnya deregulasi untuk mendorong perluasan pasar. Di samping itu, konsep pembangunan yang telah mengarah pada inklusivitas dengan model pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dalam NA dikembalikan kepada periode Law and Development State, di mana pembangunan semata-mata dimaknai di ranah ekonomi.
Konsekuensinya, sisi negatif dari kedua periode tersebut dapat terakumulasi. Dengan cara pandang Law and Neoliberal Market, pelaku usaha dipandang sebagai agen utama pembangunan yang layak mendapatkan perlakukan istimewa dengan berbagai relaksasi peraturan, termasuk bidang perburuhan dan lingkungan hidup, dan segudang insentif. Di sisi yang lain, sebagaimana dalam periode Law and Development State, negara bertugas memastikan target-target pertumbuhan ekonomi dapat terpenuhi. Konsekuensinya, negara menjadi semakin represif terhadap aktor-aktor sosial yang dianggap berpotensi menghambat pencapaian target tersebut.
Mengikuti pandangan tersebut, UU Cipta Kerja akan menjadi penanda kembalinya Indonesia ke pangkuan otoritarianisme.
Kemudian Analisis Ekonomi atas Hukum. Cara pandang peraturan ini menggunakan pendekatan untung-rugi (cost and benefit analysis). Permasalahan sosial dan lingkungan sebagai dampak dari investasi diarahkan pada penggunaan pendekatan berbasis risiko. Dalam konteks ini, penyusun NA mendasarkan cara berpikirnya pada asumsi Ronald Coase (1960) dalam The Problem of Social Cost, di mana jaminan perlindungan atas kepemilikan investor dan biaya transaksi sosial dan lingkungan yang rendah akan membuat para pihak mengadopsi solusi yang paling efisien dalam mengatasi risiko. Ilustrasinya, apabila pencemaran terjadi maka masalah ini akan diselesaikan antara perusahaan pencemar dan korban pencemaran melalui solusi yang paling murah.
Tentu saja untuk mencapai solusi yang paling murah, para pihak yang terlibat harus mampu mengkonservasi kepentingannya dalam bentuk uang sebagai currency dalam perundingan. Berdasarkan pada cara pandang inilah, NA membangun justifikasi bahwa pihak yang dapat terlibat dalam proses perundingan berbasis analisis risiko adalah mereka yang memiliki currency yang sama, yakni uang.
Agenda ini jelas terlihat ketika UU Cipta Kerja memberikan hak berpartisipasi dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) hanya untuk masyarakat yang terkena dampak langsung. Hal ini karena mereka dianggap dapat menghitung kerugian ekonomi dari risiko yang bisa timbul akibat sebuah investasi. Nilai kerugian dalam bentuk sejumlah uang ini selanjutnya akan digunakan sebagai currency dalam negosiasi guna mencapai nominal yang disepakati bersama.
Organisasi lingkungan hidup yang sebelumnya juga diberikan akses untuk berpartisipasi dihilangkan aksesnya karena mereka bukan kelompok yang bisa menderita kerugian yang bisa dinominalkan. Keterlibatan mereka dianggap berpotensi mengganggu kalkulasi untung-rugi. Padahal, dalam perkara lingkungan, tidak semua aspek yang ada di alam dapat dikonversi dalam bentuk uang sebagaimana model yang dikembangkan Coase.
Selanjutnya, penanggulangan risiko melalui pendekatan ekonomi juga memengaruhi mekanisme penegakan hukum, di mana dalam UU Cipta Kerja sanksi diarahkan dalam bentuk disinsentif finansial, yakni denda dan ganti rugi.
Metode Penyusunan Naskah Akademik
Dari segi metode, NA UU Cipta Kerja disusun dengan penelitian yuridis normatif. Jenis penelitian ini menumpukan sepenuhnya jawaban atas permasalahan yang diteliti pada data sekunder yang dapat mengandung bias karena data tersebut dipilah dan dipilih sedemikian rupa (cherry picking) semata untuk membenarkan asumsi dan hipotesis penyusun.
Dalam NA UU Cipta Kerja, data sekunder yang dominan dijadikan rujukan adalah statistik yang menunjukkan performa Indonesia di bidang ekonomi di kancah global, salah satunya adalah Ease of Doing Business dari Bank Dunia. Peringkat Ease of Doing Business ini pula yang seringkali dirujuk oleh pemerintah untuk menunjukkan tingkat kemudahan berinvestasi di Indonesia yang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Permasalahannya, karena sifatnya yang kuantitatif, Ease of Doing Business tidak mampu memberikan penjelasan mendalam hubungan kausalitas antara desain hukum di suatu negara dengan pembangunan ekonominya. Ia juga tidak mampu membuktikan bahwa variabel yang digunakan untuk mengukur tidak mengandung bias (Trebilcock & Prado 2014).
Ease of Doing Business tidak terlepas dari kritik tajam baik dalam tataran konseptual maupun metodologis. Pada tataran konseptual, peringkat Ease of Doing Business mereduksi makna hukum secara signifikan. Performa hukum di suatu negara dinilai semata-mata berdasarkan pada sejauh mana hukum dapat difungsikan sebagai platform bagi aktivitas bisnis dan sebagai institusi pendukung sistem ekonomi pasar (laissez faire). Konsekuensinya, peranan hukum untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologi sama sekali tidak mendapatkan tempat dalam konsep hukum yang sempit ini.
Pada tataran metodologis, indikator kuantitatif yang digunakan dalam penilaian Ease of Doing Business juga mereduksi realitas sosial yang kompleks di mana hukum tersebut bekerja. Penilaian atas indikator ini pun menggunakan data berbasis persepsi dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan ekonomi, misalnya firma hukum dan pengusaha (Krever 2013). Dalam hal ini, Santos (2006) menilai bahwa Doing Business merupakan produk persepsi yang jauh dari kata netral dan objektif.
Argumentasi dalam NA hanya disusun berdasarkan asumsi karena ketiadaan penelitian yang bersifat empiris guna mengumpulkan data primer. Hal ini jelas terlihat di NA halaman 181 yang menyebutkan bahwa, “keterlibatan masyarakat oleh sebagian pihak dianggap menjadi faktor penghambat investasi”. Klaim “sebagian pihak” ini diterima mentah-mentah untuk dijadikan alasan menghilangkan akses partisipasi dalam proses Amdal bagi kelompok masyarakat yang tidak terdampak langsung. Alih-alih mengambil posisi yang parsial, NA sedari awal sudah terkooptasi oleh kepentingan “sebagian pihak” yang menilai partisipasi publik sebagai penghambat investasi.
Singkatnya, UU Cipta Kerja memang didesain untuk meletakkan kepentingan ekonomi sekelompok elite di atas kepentingan perlindungan sosial dan lingkungan. Kita masih belum yakin apakah regulatory fiction UU Cipta Kerja demi kesejahteraan masyarakat akan terwujud, namun yakinlah bahwa UU ini berdampak negatif yang besar bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Penolakan atas pasal-pasal yang bersifat parsial dapat dijembatani dengan pemahaman yang lebih komprehensif atas kerangka ideologi di balik UU Cipta Kerja. Dalam hal ini, seperti yang dijabarkan di atas, UU Cipta Kerja merupakan peneguhan lebih lanjut atas instrumentalisasi hukum demi akumulasi kapital yang mana kontradiksi dengan rakyat pekerja dan ekologi merupakan sebuah keniscayaan.
Dengan demikian, kritik terhadap UU Cipta Kerja haruslah diletakkan sebagai bagian dari kritik atas kapitalisme.
Kemudian, yang juga harus diperhatikan adalah perlawanan-perlawanan rakyat yang semakin besar ini juga dapat menaikkan eskalasi konflik antar-elite. Elite yang berada di luar kekuasaan bisa saja sedang menunggu kesempatan yang tepat untuk menunggangi gerakan untuk memuluskan agenda perebutan kekuasaan.
Oleh karena itu, artikulasi yang lebih tegas—bahwa gerakan ini adalah perlawanan terhadap kapitalisme—akan menjadi pembeda antara gerakan rakyat yang progresif dengan gerakan yang membawa agenda elite oportunis.***
Agung Wardana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Kepustakaan
Max Weber, 1978, Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology, disunting oleh Guanther Roth & Claus Wittich, University of California Press, Barkely & London.
Alvaro Santos, 2006, “The World Bank’s Uses of the ‘Rule of Law’ Promise in Economic Development,” dalam David Trubek & Alvaro Santos (penyunting), The New Law and Economic Development: A Critical Appraisal, Cambridge University Press, Cambridge.
Michael J. Trebilcock & Mariana Mota Prado, 2014, Advanced Introduction to Law and Development, Edward Elgar, Chaltenham.
Tor Krever, 2013, “Quantifying Law: Legal Indicator Projects and the Reproduction of Neoliberal Common Sense,” Third World Quarterly, Vol. 34 (1): 131-150.
Ronald Coase, 1960, “The Problem of Social Cost,” The Journal of Law and Economics 3: 1-44.
Leonard J Theberge, 1980, “Law and Economic Development,” Denver Journal of International Law & Policy 9: 231-238.