DENGAN waktu penyusunan yang relatif singkat, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka) sebagai undang-undang, Senin (5/10/2020). Mengikuti jejak revisi Undang-Undang Minerba, peraturan yang disusun dengan metode omnibus ini juga memanfaatkan masa pandemi COVID-19 untuk mengurangi kebisingan dan penolakan dari kelompok penolak, mulai dari mahasiswa, aktivis LSM, serikat buruh hingga rakyat pekerja secara luas. 

Telah banyak pihak menyampaikan kekhawatiran atas substansi dari undang-undang ini. Mengingat cakupannya yang luas dan kompleks, perhatian atas UU Cipta Kerja cenderung parsial: fokus pada klaster-klaster tertentu. Kelompok buruh, misalnya, fokus mengkritisi pasal-pasal pada klaster ketenagakerjaan; sedangkan aktivis lingkungan memberikan perhatian lebih besar terhadap dampak undang-undang sapu jagat ini bagi lingkungan; dan seterusnya. Tentu tidak ada yang keliru dari itu karena  kelompok sosial dalam masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda dalam melihat undang-undang ini. Namun demikian, pembacaan parsial akan sulit menghasilkan gambaran menyeluruh yang menjadi perekat antara kepentingan dari masing-masing kelompok.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya mencoba memberikan gambaran yang lebih koheren atas UU Cipta Kerja.

Pembacaan teoretis penting untuk memberikan penjelasan bagaimana penyusun regulasi melihat masalah dan menawarkan jalan keluarnya melalui undang-undang. Pada titik inilah telaah atas Naskah Akademik (NA) dibutuhkan untuk menguji urgensi filosofis, sosiologis dan yuridis dari undang-undang dimaksud. Saya akan memfokuskan pembahasannya pada aspek metode dan kerangka teoritis yang digunakan dalam NA.

Tulisan ini merupakan pemutakhiran opini berjudul “Menguji Landasan Teori RUU Cipta Kerja” yang saya unggah di media sosial pada Maret lalu. 


Kerangka Teori UU Cipta Kerja

Saya mengidentifikasi dua teori dominan yang diasumsikan dalam NA. Pertama adalah Doktrin Hukum dan Pembangunan (Law and Development Doctrine) yang digunakan untuk membangun hubungan antara hukum dan ekonomi (kapitalisme) dalam konteks makro. Kerangka teori yang kedua adalah Analisis Ekonomi atas Hukum (Economic Analysis of Law) yang digunakan sebagai pisau analisis mikro terhadap pasal-pasal dalam undang-undang terkait agar sejalan dengan penciptaan iklim investasi yang efisien.

Doktrin Hukum dan Pembangunan bertumpu pada tesis klasik Max Weber dalam bukunya Economic and Society. Weber (1978, 1394) menyatakan bahwa, “kapitalisme modern menumpukan usahanya pada kemampuan kalkulabilitas dari sistem hukum dan administrasi, yang mana fungsinya dapat diprediksi secara rasional…berdasarkan pada norma umumnya yang ajeg, bekerja layaknya sebuah mesin.” Dalam pandangannya, perkembangan kapitalisme mensyaratkan instrumen dan institusi hukum yang formal-rasional sehingga mampu memberikan perhitungan (calculability) dan prediksi (predictability).

Di era 1950an, tesis ini berkembang menjadi mazhab hukum baru di Amerika Serikat bernama Law and Development (Hukum dan Pembangunan), sebagai subset dari Teori Modernisasi. Secara sederhana, sebagaimana diungkapkan oleh Talcott Parsons, teori ini percaya bahwa ketertinggalan negara-negara berkembang disebabkan oleh fitur-fitur hukum dan kelembagaan yang masih tradisional. Untuk itu dibutuhkan transplantasi maupun duplikasi fitur-fitur modern, termasuk substansi dan institusi hukum.

Mazhab ini mengalami pasang surut dan mengalami tiga momen perubahan paradigmatis demi mengatasi kegagalan demi kegagalan. Pertama, periode Law and Development State (1950an-1970an) yang menumpukan pertumbuhan ekonomi melalui peran negara. Di sini, hukum digunakan sebagai instrumen bagi negara untuk melakukan intervensi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Periode kedua berlabel Law and Neoliberal Market (1980an-1990an) yang dipengaruhi oleh neoliberalisme versi Washington Consensus. Di sini hukum menjadi sarana deregulasi dan privatisasi untuk memperluas jangkauan pasar. Para periode ini pula terjadi serial krisis yang membuktikan kegagalan pasar, termasuk krisis moneter akhir 1990an di Indonesia.

Berangkat dari kegagalan sebelumnya, Doktrin Hukum dan Pembangunan bermetamorfosis ke dalam periode ketiga (2000an-sekarang) yang disebut Neoliberalisme Inklusif. Periode termutakhir ini dipengaruhi oleh pandangan Neo-Institutional Economics (NIE) dan konsep pembangunan inklusif yang mengikuti anjuran Amartya Sen. Di sini, institusi hukum didesain sebagai sarana mencegah kegagalan pasar dan pembangunan didorong untuk melampaui ekonomi dengan mengakomodasi aspek sosial dan lingkungan yang menjadi jaring pengaman bagi keberlanjutan ekonomi pasar.

Di ranah akademis, hubungan hukum dan ekonomi yang dinilai aksiomatis oleh para penganut Doktrin Hukum dan Pembangunan sebenarnya masih terus mengalami perdebatan. Dilihat lebih dalam, doktrin tersebut memiliki kontradiksi internal. Di satu sisi, hukum dijadikan instrumen bagi negara dan pelaku ekonomi untuk memprediksi kerja hukum yang pada gilirannya digunakan dalam mengkalkulasi tindakan bisnisnya. Namun di sisi lain, instrumentalisasi hukum ini mensyaratkan adanya formalisme hukum dalam bentuk norma yang pasti dan bekerja secara mekanistik. Dengan kata lain, dalam Doktrin Hukum dan Pembangunan, kepastian hukum merupakan selubung untuk menutupi agenda  instrumentalisasi hukum dalam rangka akumulasi kapital sehingga tidak mengherankan jika mantra ‘kepastian hukum’ paling sering dilafalkan oleh negara dan pelaku usaha.

Dalam cakrawala teoretis tersebut, NA UU Cipta Kerja terbaca sangat problematik. Dari sisi empiris, Indonesia pasca-otoritarianisme telah masuk ke dalam periode Neoliberalisme Inklusif. Ini ditandai dibangunnya kelembagaan hukum mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang difungsikan untuk menciptakan level playing field dan memberantas ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh korupsi.

Alih-alih melanjutkan perbaikan dan penguatan institusi yang sudah dibentuk, melalui UU Cipta Kerja, negara kehilangan kepercayaan terhadap Neoliberalisme Inklusif dan mengambil langkah memutar balik.

Secara konseptual, NA masih menggunakan kerangka pikir kepustakaan Law and Neoliberal Market. Hal ini tercermin dari dirujuknya tesis Leonard J Theberge (1980) yang menekankan pentingnya deregulasi untuk mendorong perluasan pasar. Di samping itu, konsep pembangunan yang telah mengarah pada inklusivitas dengan model pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dalam NA dikembalikan kepada periode Law and Development State, di mana pembangunan semata-mata dimaknai di ranah ekonomi.

Konsekuensinya, sisi negatif dari kedua periode tersebut dapat terakumulasi. Dengan cara pandang Law and Neoliberal Market, pelaku usaha dipandang sebagai agen utama pembangunan yang layak mendapatkan perlakukan istimewa dengan berbagai relaksasi peraturan, termasuk bidang perburuhan dan lingkungan hidup, dan segudang insentif. Di sisi yang lain, sebagaimana dalam periode Law and Development State, negara bertugas memastikan target-target pertumbuhan ekonomi dapat terpenuhi. Konsekuensinya, negara menjadi semakin represif terhadap aktor-aktor sosial yang dianggap berpotensi menghambat pencapaian target tersebut.

Mengikuti pandangan tersebut, UU Cipta Kerja akan menjadi penanda kembalinya Indonesia ke pangkuan otoritarianisme.

Kemudian Analisis Ekonomi atas Hukum. Cara pandang peraturan ini menggunakan pendekatan untung-rugi (cost and benefit analysis). Permasalahan sosial dan lingkungan sebagai dampak dari investasi diarahkan pada penggunaan pendekatan berbasis risiko. Dalam konteks ini, penyusun NA mendasarkan cara berpikirnya pada asumsi Ronald Coase (1960) dalam The Problem of Social Cost, di mana jaminan perlindungan atas kepemilikan investor dan biaya transaksi sosial dan lingkungan yang rendah akan membuat para pihak mengadopsi solusi yang paling efisien dalam mengatasi risiko. Ilustrasinya, apabila pencemaran terjadi maka masalah ini akan diselesaikan antara perusahaan pencemar dan korban pencemaran melalui solusi yang paling murah.

Tentu saja untuk mencapai solusi yang paling murah, para pihak yang terlibat harus mampu mengkonservasi kepentingannya dalam bentuk uang sebagai currency dalam perundingan. Berdasarkan pada cara pandang inilah, NA membangun justifikasi bahwa pihak yang dapat terlibat dalam proses perundingan berbasis analisis risiko adalah mereka yang memiliki currency yang sama, yakni uang.

Agenda ini jelas terlihat ketika UU Cipta Kerja memberikan hak berpartisipasi dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) hanya untuk masyarakat yang terkena dampak langsung. Hal ini karena mereka dianggap dapat menghitung kerugian ekonomi dari risiko yang bisa timbul akibat sebuah investasi. Nilai kerugian dalam bentuk sejumlah uang ini selanjutnya akan digunakan sebagai currency dalam negosiasi guna mencapai nominal yang disepakati bersama.

Organisasi lingkungan hidup yang sebelumnya juga diberikan akses untuk berpartisipasi dihilangkan aksesnya karena mereka bukan kelompok yang bisa menderita kerugian yang bisa dinominalkan. Keterlibatan mereka dianggap berpotensi mengganggu kalkulasi untung-rugi. Padahal, dalam perkara lingkungan, tidak semua aspek yang ada di alam dapat dikonversi dalam bentuk uang sebagaimana model yang dikembangkan Coase.

Selanjutnya, penanggulangan risiko melalui pendekatan ekonomi juga memengaruhi mekanisme penegakan hukum, di mana dalam UU Cipta Kerja sanksi diarahkan dalam bentuk disinsentif finansial, yakni denda dan ganti rugi.


Metode Penyusunan Naskah Akademik

Dari segi metode, NA UU Cipta Kerja disusun dengan penelitian yuridis normatif. Jenis penelitian ini menumpukan sepenuhnya jawaban atas permasalahan yang diteliti pada data sekunder yang dapat mengandung bias karena data tersebut dipilah dan dipilih sedemikian rupa (cherry picking) semata untuk membenarkan asumsi dan hipotesis penyusun.

Dalam NA UU Cipta Kerja, data sekunder yang dominan dijadikan rujukan adalah statistik yang menunjukkan performa Indonesia di bidang ekonomi di kancah global, salah satunya adalah Ease of Doing Business dari Bank Dunia. Peringkat Ease of Doing Business ini pula yang seringkali dirujuk oleh pemerintah untuk menunjukkan tingkat kemudahan berinvestasi di Indonesia yang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Permasalahannya, karena sifatnya yang kuantitatif, Ease of Doing Business tidak mampu memberikan penjelasan mendalam hubungan kausalitas antara desain hukum di suatu negara dengan pembangunan ekonominya. Ia juga tidak mampu membuktikan bahwa variabel yang digunakan untuk mengukur tidak mengandung bias (Trebilcock & Prado 2014).

Ease of Doing Business tidak terlepas dari kritik tajam baik dalam tataran konseptual maupun metodologis. Pada tataran konseptual, peringkat Ease of Doing Business mereduksi makna hukum secara signifikan. Performa hukum di suatu negara dinilai semata-mata berdasarkan pada sejauh mana hukum dapat difungsikan sebagai platform bagi aktivitas bisnis dan sebagai institusi pendukung sistem ekonomi pasar (laissez faire). Konsekuensinya, peranan hukum untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologi sama sekali tidak mendapatkan tempat dalam konsep hukum yang sempit ini.

Pada tataran metodologis, indikator kuantitatif yang digunakan dalam penilaian Ease of Doing Business juga mereduksi realitas sosial yang kompleks di mana hukum tersebut bekerja. Penilaian atas indikator ini pun menggunakan data berbasis persepsi dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan ekonomi, misalnya firma hukum dan pengusaha (Krever 2013). Dalam hal ini, Santos (2006) menilai bahwa Doing Business merupakan produk persepsi yang jauh dari kata netral dan objektif.

Argumentasi dalam NA hanya disusun berdasarkan asumsi karena ketiadaan penelitian yang bersifat empiris guna mengumpulkan data primer. Hal ini jelas terlihat di NA halaman 181 yang menyebutkan bahwa, “keterlibatan masyarakat oleh sebagian pihak dianggap menjadi faktor penghambat investasi”. Klaim “sebagian pihak” ini diterima mentah-mentah untuk dijadikan alasan menghilangkan akses partisipasi dalam proses Amdal bagi  kelompok masyarakat yang tidak terdampak langsung. Alih-alih mengambil posisi yang parsial, NA sedari awal sudah terkooptasi oleh kepentingan “sebagian pihak” yang menilai partisipasi publik sebagai penghambat investasi.

Singkatnya, UU Cipta Kerja memang didesain untuk meletakkan kepentingan ekonomi sekelompok elite di atas kepentingan perlindungan sosial dan lingkungan. Kita masih belum yakin apakah regulatory fiction UU Cipta Kerja demi kesejahteraan masyarakat akan terwujud, namun yakinlah bahwa UU ini berdampak negatif yang besar bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Penolakan atas pasal-pasal yang bersifat parsial dapat dijembatani dengan pemahaman yang lebih komprehensif atas kerangka ideologi di balik UU Cipta Kerja. Dalam hal ini, seperti yang dijabarkan di atas, UU Cipta Kerja merupakan peneguhan lebih lanjut atas instrumentalisasi hukum demi akumulasi kapital yang mana kontradiksi dengan rakyat pekerja dan ekologi merupakan sebuah keniscayaan.

Dengan demikian, kritik terhadap UU Cipta Kerja haruslah diletakkan sebagai bagian dari kritik atas kapitalisme.

Kemudian, yang juga harus diperhatikan adalah perlawanan-perlawanan rakyat yang semakin besar ini juga dapat menaikkan eskalasi konflik antar-elite. Elite yang berada di luar kekuasaan bisa saja sedang menunggu kesempatan yang tepat untuk menunggangi gerakan untuk memuluskan agenda perebutan kekuasaan.

Oleh karena itu, artikulasi yang lebih tegas—bahwa gerakan ini adalah perlawanan terhadap kapitalisme—akan menjadi pembeda antara gerakan rakyat yang progresif dengan gerakan yang membawa agenda elite oportunis.***


Agung Wardana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


Kepustakaan

Max Weber, 1978, Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology, disunting oleh Guanther Roth & Claus Wittich, University of California Press, Barkely & London.

Alvaro Santos, 2006, “The World Bank’s Uses of the ‘Rule of Law’ Promise in Economic Development,” dalam David Trubek & Alvaro Santos (penyunting), The New Law and Economic Development: A Critical Appraisal, Cambridge University Press, Cambridge.

Michael J. Trebilcock & Mariana Mota Prado, 2014, Advanced Introduction to Law and Development, Edward Elgar, Chaltenham.

Tor Krever, 2013, “Quantifying Law: Legal Indicator Projects and the Reproduction of Neoliberal Common Sense,” Third World Quarterly, Vol. 34 (1): 131-150.

Ronald Coase, 1960, “The Problem of Social Cost,” The Journal of Law and Economics 3: 1-44.

Leonard J Theberge, 1980, “Law and Economic Development,” Denver Journal of International Law & Policy 9: 231-238.




      Pada dasarnya, sahnya suatu perjanjian dibuat berdasarkan syarat-syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yaitu :
  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu hal tertentu;
  4. suatu sebab yang halal.
     Syarat-syarat perjanjian sebagaimana tersebut di atas, meliputi syarat subyektif dan syarat obyektif. Apabila perjanjian tidak sesuai dengan syarat subyektif pada angka 1 dan angka 2, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Dan apabila perjanjian tidak sesuai dengan syarat obyektif pada angka 3 dan angka 4, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
       Pasal 52 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), mengatur mengenai akibat hukum terhadap perjanjian kerja yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
  1. kesepakatan kedua belah pihak;
  2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
  3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan, sendagkan perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pengertian dapat dibatalkan (vernietigbaar) adalah salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Sedangan pengertian batal demi hukum (Null and Void) adalah dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian kerja itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan/atau tidak pernah ada suatu perikatan.

Dalam Pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.

Sumber: http://www.hukumtenagakerja.com/akibat-hukum-terhadap-perjanjian-kerja-yang-bertentangan-dengan-undang-undang-ketenagakerjaan/


    Media sosial saat ini sudah menjadi ajang komunikasi dan sarana berkumpul secara virtual bagi banyak kalangan. Remaja merupakan pengguna terbanyak dari media sosial ini. Kebebasan yang diberikan oleh media sosial merupakan hal yang biasa, hal inilah yang mengakibatkan media sosial banyak digandrungi banyak kalangan. Dengan media sosial, seseorang dapat dengan leluasa untuk mengeluarkan pendapat, atau hanya sekedar meluapkan kesenangan,kekesalan atau hal-hal yang lain dengan bebas.
     Namun dibalik semua kebebasan yang dimiliki di dalam dunia maya, saat ini dapat berimbas juga pada dunia nyata seseorang. Dampak positif dan bahkan dampak negatif dapat terjadi pada seseorang akibat media sosial. Tak perlu diragukan lagi kekuatan media sosial sangat luar biasa, banyak hal-hal positif yang dihasilkan akibat postingan pada media sosial, akan tetapi tak bisa dipungkiri banyak juga dampak negatif akibat media sosial bagi seseorang.
    Kebebasan yang di hadirkan di dalam dunia maya, saat ini dapat menjadi senjata makan tuan bagi seseorang. Kebebasan yang berlebih terkadang membuat seseorang lupa diri untuk memposting sesuatu dalam akun media sosial miliknya. Berdalih meluapkan emosi dalam media sosial dan mencaci seseorang atau kelompok tertentu dapat menjadi bomerang yang sangat berbahaya, hal ini dikarenakan di Indonesia telah berlaku Hukum Positif mengenai Cyber Law ( hukum dunia maya ) yang tertuang dalam Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elaktronik.
   Pelaporan pencemaran nama baik merupakan hal yang sering terjadi akibat postingan yang dapat menyinggung perasaan seseorang. Terlebih pengguna media sosial terbanyak merupakan kaum remaja yang masih memiliki jiwa yang labil dan mudah terpancing emosinya. Dalam dunia nyata pencemaran nama baik diatur dalam pasal 310 Ayat (10) KUHP, yang berbunyi "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah". Namun dalam dunia maya pencemaran nama baik di atur dalam pasal 27 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
   Bila diperhatikan pasal 27 ayat (3) UU ITE memiliki isi yang lebih sederhana dan lebih luas dibanding dengan pasal 310 ayat (10) yang menjelaskan lebih komplek mengenai pencemaran nama baik. Oleh karena itu pasal 27 ayat (3) ini harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan pada KUHP. Pengaturan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam UU ITE berbanding terbalik dengan pengaturan sanksi pada pasal 310 ayat (10) KUHP. Dimana di dalam KUHP sanksi pidana pencemaran nama baik paling lama pidana penjara sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sedangkan dalam UU ITE pelanggaran atas pasal 27 ayat (3) di atur dalam pasal 45 ayat (1) yang berbunyi "Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)"
     Pelanggaran terhadap pasal 27 UU ITE terdapat pula pasal pemberat, ketentuan tersebut ada dalam pasal 36 UU ITE yang berunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.". Dimana sanksinya di atur dalam pasal 51 ayat (2) UU ITE,"Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)".
     Pengetahuan mengenai sanksi pidana pencemaran nama baik melalui dunia maya, khususnya melalui media sosial ini semoga menjadi bahan pertimbangan bagi semua pengguna media sosial di Indonesia, agar lebih berhati-hati dalam memposting segala sesuatu dalam akun media sosial yang dapat menyinggung perasaan orang lain atau kelompok tertentu, sehingga media sosial tidak menjadi senjata makan tuan bagi diri kita sendiri. (mada).

Sumber : http://www.madalabs.com/2015/11/senjata-makan-tuan-media-sosial.html


Istilah black market diterjemahkan sebagai pasar gelap oleh kamus “English-Indonesia” yang kami akses dari situs kamus.ugm.ac.id. Kemudian, menurut buku “Belajar Hidup Bertanggung Jawab, Menangkal Narkoba dan Kekerasan” yang ditulis oleh Lydia Herlina Martono et.al. (hlm. 20), suatu perdagangan yang dilakukan di pasar gelap, artinya dilakukan di luar jalur resmi sebab melanggar hukum.
Mahkamah Agung dalam Putusan No. 527 K/Pdt/2006 juga menggunakan istilah black market untuk menyebut suatu perdagangan yang tidak resmi.
Cakupan istilah pasar gelap ini cukup luas, selama perdagangan tersebut melanggar hukum dan dilakukan di luar jalur resmi, maka dapat disebut sebagai suatu pasar gelap. Misalnya, barang (telepon selular) yang diperdagangkan tersebut merupakan hasil pencurian, penyelundupan, atau tidak dilengkapi perizinan untuk dapat diperdagangkan, sehingga melanggar suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dasar dari terjadinya jual beli adalah perjanjian jual beli. Salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) adalah adanya sebab yang halal yakni sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPer).

Sehingga, jika telepon selular yang diperdagangkan itu diperoleh dari hasil pencurian, penyelundupan, penadahan atau diperoleh dengan cara-cara lain yang melanggar undang-undang, dapat dikatakan jual beli tersebut tidak resmi/tidak sah dan terhadap pelakunya dapat dijerat dengan pasal-pasal pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

Selain itu, telepon selular termasuk produk telematika sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.: 19/M-DAG/PER/5/2009 (“Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009”). Definisi produk telematika menurut Pasal 1 angka 1 Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 adalah sebagai berikut:

“Produk telematika adalah produk dari kelompok industri perangkat keras telekomunikasi dan pendukungnya, industri perangkat penyiaran dan pendukungnya, industri komputer dan peralatannya, industri perangkat lunak dan konten multimedia, industri kreatif teknologi informasi, dan komunikasi.”

Telepon selular, menurut ketentuan Lampiran I Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009, merupakan salah satu produk yang wajib dijual dengan disertai kartu jaminan/garansi purna jual dalam Bahasa Indonesia.

Hal tersebut terkait juga pengaturan Pasal 2 ayat (1) Permendag 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa:

“Setiap produk telematika dan elektronika yang diproduksi dan/atau diimpor untuk diperdagangkan di pasar dalam negeriwajib dilengkapi dengan petunjuk penggunaan dan kartu jaminan (garansi purna jual) dalam Bahasa Indonesia.”

Karena itu, terhadap penjual telepon selular yang melanggar ketentuanPasal 2 ayat (1) Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 berlaku ketentuan Pasal 22 Permen 19/M-DAG/PER/5/2009 yang menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat [1], dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”).”

Jika kita melihat pada ketentuan UUPK, Pasal 8 ayat (1) huruf jUUPK menyatakan bahwa seorang pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Terhadap pelanggaran Pasal 8 UUK ini pelaku usaha dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar (lihat Pasal 62 ayat [1] UUPK).

Maka, berdasarkan pengaturan Pasal 62 ayat [1] jo. Pasal 8 ayat (1) UUPK seorang penjual telepon selular yang tidak memberikan kartu garansi dan layanan purna jual dapat dikenai sanksi pidana. Lebih lanjut, mengenai penuntutan berdasarkan Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) dapat disimak juga artikel iPad Dijual Tanpa Bahasa Indonesia.

Dari uraian di atas, dapat kiranya disimpulkan bahwa penjualan telepon selular di pasar gelap atau tanpa garansi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan adalah melanggar hukum.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek,Staatsblad 1847 No. 23).
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732).
3.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
4.      Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual Dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika Dan Elektronika




Sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2937/hukum-jual-beli-ponsel-tanpa-garansi-di-pasar-gelap-(black-market)

         
    Berlakunya Undang-Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana telah Menimbulkan perubahan fundamental baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara di Indonesia.
Sebelum berlakunya UU RI No.8 thn 1981, hukum acara pidana di Indonesia memiliki sejarah              panjang dalam perkembangannya. Hukum acara pidana di Indonesia dimulai dari masa penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia. Sementara itu sistem hukum belanda sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem hukum eropa yang dimulai pada abad ke-13 yang terus mengalami perkembangan hingga abad ke-19. Jadi perkembangan hukum acara pidana Indonesia juga dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa.
Perkembangan sistem peradilan pidana sudah sejak abad ke-13 dimulai di eropa dengan diperkenalkannya sistem inquisitoir sampai dengan pertengahan abad ke-19. peoses pemeriksaan perkara pidana berdasarkan sistem inqusitoir dimasa itu dimulai dengan adnya inisiatif dari penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan.
Satu-satunya pemeriksaan pada masa itu adalah untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Khususnya dalam kejahatan berat, apabila tersangka tidak mau secara sukarela untuk mengakui perbuatannya atau kesalahannya itu, maka petugas pemeriksa memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan sampai diperoleh pengakuan. Setelah petugas selesai melakukan tugasnya, kemudian dia akan menyampaikan berkas hasil pemeriksaanya kepada pengadilan. Pengadilan akan memeriksa perkara tersangka hanya atas dasar hasil pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam berkas tersebut. Walaupun pada, masa ini telah ada penuntut umum, namun ia tidak memiliki peranan yang berarti dalam proses penyelesaian perkara, khususnya dalam pengajuan, pengembangan lebih lanjut atau dalam penundaaan perkara yang bersangkuatan. Apabila diteliti, akan tampak proses penyelesaian perkara pidana pada masa itu sangat singkat dan sederhana. Kemudian dengan timbulnya gerakan revolusi Perancis yang telah mengakibatkan banyak bentuk prosedur lama didalam peradilan pidana dianggap tidak sesuai dengan perubahan iklim social dan politik secara revolusi. Khususnya dalam bidang peradilan pidana muncul bentuk baru yakni the mixed type, Yang menggambarkan suatu sistem peradialan pidana modern di dataran eropa, yang dikenal dengan the modern continental criminal procedure. Munculnya sistem baru dalam peradialn pidana ini diprakarsai oleh para cendikiawan eropa. Pada sistem themixed type tahap pemeriksaan pendahuluan sifatnya inquisitoir, akan tetapi proses penyelidikan dapat dilaksanakan oleh public prosecutor. Selain itu pada sistem ini peradialan dilakukan secara terbuka. Dalam pelaksanaannya penyelidikan terdapat seorang ”investigating judge” atau pejabat yang tidak memihak yang ditunjuk untuk menyelidiki bukti-bukti dalam perkara pidana.

Kemudian ketika bangasa belanda melakukan penjajahan di Indonesia, hukum acara pidana di Indonesia merupakan produk dari pada pemerintahan Bangsa Belanda. Kemudian peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan adalah Reglemen Indonesia yang dibaharui atau juaga dikenal dengan nama Het Herziene inlandsch Rgelement atau H.I.R (staatsblad tahun 1941 nomor 44).
Dalam H.I.R terdapat dua macam penggolongan hukum acara pidana yaitu hukum acara pidana bagilandraad dan hukum acara pidana bagi raad van justitie. Penggolongan hukum acara pidana ini merupakan akibat semata dari pembedaan peradilan bagi golongan penduduk bumi putra dan peradilan bagi golongan bangsa eropa dan timur asing di jaman hindia belanda.
Meskipun undang-undang Nomor 1 drt. Thn 1951 telah menetapkan, bahwa hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku di seluruh Indonesia yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum didalamnyabelum memberikan jaminan dan tehadap hak-hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan mertabat menusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu Negara hukum.
Oleh karena itu, demi pembangunan dalam bidang hukum and sehubungan dengan hal sebagaimana telah dijelaskan, maka Het Herziene Inlandsch Reglement, berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 serta semua pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peaturan perundang-undangan lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum pidana perlu dicabut karena tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan Undang-Undang hukum acara pidana yang baru yang mempunyai cirri kodifikatif dan unifikatif berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.
Dengan diberlakuaknnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang- Undang No.8 tahun 1981) di Indonesia maka segala peraturan perundang-undangan sepanjang mengatur tentang pelaksanaan daripada hukum acara pidana dicabut. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah diletakkan dasar-dasar humanisme dan merupakan suatu era baru dalam lingkungan peradilan di Indonesia. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Di Indonesia merupakan hukum yang berlaku secara nasional yang didasrkan pada falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, kesimpulannya adalah hukum acara pidana di Indonesia merupakan produk hukum dari belanda dyang dituangkan dalam bentuk Het Herziene Inlansch Reglement (H.I.R) yang masih terpengaruh oleh sistem hukum Negara-negara eropa yang kemudian digantikan dengan Unadang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, yang berlaku sampai dengan sekarang.

A. ACARA PIDANA SEBELUM  ZAMAN KOLONIAL
Pada waktu penjajah Belanda pertama kali menginjakan kakinya dibumi nusantara, negeri ini tidaklah gersang dari lembaga tata negara dan lembaga tata hukum. Telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat.
Pada umumnya pada masyarakat primitif pertumbuhan hukum privat dan hukum publik dalam dunia moderen, tidak membedakan kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata tidak terpisah dari hukum acara pidana, baik di Indonesia maupun didunia barat (termasuk Belanda). Tuntutan perdaata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.
Jadi lembaga seperti jaksa atau penunut umum adalah lembaga baru. Tidak terdapat masyarakat primitif. Prancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga itu. Pada bagian belakang dapat dibaca bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia moderen sekarang ini.
Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan suatu totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan kesatuan. Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis yang satu dari yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanaya berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu. Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia sering digantungkan pada kekuasaan Tuhan. Didaerah Wojo dahulu dikenal cara pembuktian dengan membuat asap pada abu raja yang dianggap paling adil dan bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu mengarah pihak itulah yang dipandang paling benar.Sistem pimidanaannya pun sangat sederhana. Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het Adatrecht bagian X yang disebut juga :
Pengganti kerugian “immateriil” dalam pelbagi rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan Bayaran “ uang adat “ kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dan segala kotoran gaib Penutup malu, permintaan maaf Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum

B.     PERUBAHAN PERUNDANG-UNDANGAN DINEGERI BELANDA YANG ASAS KONKORDANSI DIBERLAKUKAN PULA DIINDONESIA
KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada yang menyebutkannya suatau karya agung, merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih moderen itu. Dalam usaha menengok masa lampau itu kita terbawa oleh rus kepada perubahan penting perundang-undangan dinegeri Belanda pada tahun 1838, pada waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan Prancis. Pada waktu itu, golongan legis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk undang-undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaziman-kelaziman tidak merupakan, kecuali bilamana kelaziman tersebut ditunjuk dalam undang-undang ( aturan hukum yanghukum yang tertulis dan terbuat dengan sengaja ). Pada tahun 1747 VOC telah mengatur organisasi peradilan pribumi dipedalan, yang langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang-undang Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffls untuk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut, maka usaha ini ditangguhkan. Sebelum berlakunya perunang-undangan baru dinegeri Belanda, yaitudalam tahun 1836. scholten van Oud-Haarlem telah menyatakan kesediannya untuk mempersiapkan perundang-undangan baru diHindia Belanda disamping jabatannya sebagai presidan Hooggerechtshof. Ia memangku jabatannya itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr P. Mijer, ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundang-undangan baru iu di hindia Belanda.

C.    INLANDS REGLEMENT KEMUDIAN HERZIENE INLANDS REGLEMENT
Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jendral tanggal 3 desember 1847 Sld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau disingkat IR. Mr Wichers mengadaan beberapa perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral, tetapi ia mempertahankan hasil karyanya itu pada umumnya. Akhirnya, reglemenn tersebut disahkan oleh Gubernur Jendral, dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Sbld nomor 16, dan dikuatkan dengan firman Raja tanggal 29 september 1849 \nomor 93, diumumkan dalam Sbld 1849 nomor 63. Dengan Sbld 1941 nomor 44 di umumkan kembali dengan Herziene Inlands Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yag dahulu ditempatkan dibawah pamongpraja. Dengan perubahan ini maka openbaar ministerie (OM) atau parket itu secara bulat dan tidak terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada dibawah officier van justitie dan procureur generaal. Dalam praktek IR masih masih berlaku disamping HIR dijawa dan madura. HIR berlaku dikota-kota besar seperti jakarta (batavia), Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan lain-lain, sedangkan di kota-kota lain berlaku IR. Untuk golongan bumiputera, selain yang telah disebutkan dimuka, masih ada pengadilan lain seperti districhtsgerecht, regentshapsgerecht, dan luar jawa dan madura terdapatterdpat magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara perdata yang kecil-kecil. Sebagai pengadilan yang tertinggi meliputi seluru “Hindia Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang putusan-putusannya disebut arrest. Tugasnya diatur dalam pasal 158 Indische Staatsregeling dan RO.

D.    ACARA PIDANA PADA ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG DAN SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Pada zaman pendudukan jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan aasi kecuali hapusnya Raad van justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan undang-undang (osamu serei) nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 maret 194, dikelurkan aturan peralihan dijawa dan madura. Dengan demikian, cara pidana pun pada umumnya tidak berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechtsreglement berlaku untuk pengadilan negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan tinggi (koot Hooin) den pengadilan Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan ini diatur dengan Osamu Serei nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 september 1942.
Perbandingan antara HIR dan KUHPidana
HIR:
A. Hukum formal atau mengatur bagaimana penegakan atau pelaksanaan BW
B. Kedudukannya ada pada lapangan hukum privat
C. Berlaku sebagian daerah (p.Jawa dan Madura)
KUHPpidana:
A. Merupakan hukum materiil
B. Kedudukannya ada pada lapangan public
C. Berlaku untuk selruh Indonesia

E.     HUKUM ACARA PIDANA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 (DRT) TAHUN 1951
Dengan undang – undang tersebut dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hukum acara pidanadan susunanpengadilan yang beraneka ragam sebelumnya. Menurut Pasal 1 undang – undang tersebut dihapus yaitu sebagai berikut :
1.      Mahkamah Yustisi di Makasar dan alat penuntut umum padanya.
2.      Appelraad di Makasar.
3.      Apeelraad di Medan.
4.      Segala pengadilan Negara dan segala landgerecht (cara baru) dan alat penuntut umum padanya.
5.      Segala pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum padanya.
6.      Segala pengadilan magistraad (pengadilan rendah).
7.      Segala pengadilan kabupaten
8.      Segala raad distrik.
9.      Segala pengadilan negorij.
10.  Pengadilan swapraja.
11.  Pengadilan adat.
Hakim perdamaian desa yang diatur oleh Pasal 3a RO itu masih berhak hidup dengan alasan sebagai berikut :
1.      Yang dicabut oleh KUHAP ialah yang mengenai acara pidana sedangkan HIR dan Undang – undang Nomor 1 (drt) 1951 juga mengatur acara perdata dan hukum pidana materiil.
2.      Undang – undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga tidak menghapusnya.

F.     LAHIRNYA KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
Setelah lahirnya orde baru terbukalah kesempatan  untuk membangun segala segi kehidupan. Puluhan undang – undang diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan warisan kolonial.
Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk suatu panitia di departemen Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang – undang Hukum Acara Pidana. Pada waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri Kehakiman, penyempurnaan rencana itu diteruskan. Pada Tahun 1974 rencana terseut dilimpahkan kepada Sekretariat Negara dan kemudian dibahas olehwmpat instansi, yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri dan Departemen Kehakiman.
Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam penyusunan rencana tersebut diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12 September1979 Nomor R.08/P.U./IX/1979.
Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaran Tim Sinkronisasi dengan wakil pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal dengan Pasal 284.
Pasal 284 ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap hukum acara pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tapi kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda – tanda adanya usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 Tahun 1983 telah ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik – delik dalam perundang – undangan pidana khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini. Penyidik Jaksa.Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang – undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).
Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi undang – undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG – UNDANG ACARA PIDANA (Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209.
Diberdayakan oleh Blogger.