Berlakunya Undang-Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana telah Menimbulkan perubahan fundamental baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara di Indonesia.
Sebelum berlakunya UU RI No.8 thn 1981, hukum acara pidana
di Indonesia memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya. Hukum acara pidana
di Indonesia dimulai dari masa penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Sementara itu sistem hukum belanda sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem
hukum eropa yang dimulai pada abad ke-13 yang terus mengalami perkembangan
hingga abad ke-19. Jadi perkembangan hukum acara pidana Indonesia juga
dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa.
Perkembangan sistem peradilan pidana sudah sejak abad ke-13
dimulai di eropa dengan diperkenalkannya sistem inquisitoir sampai dengan
pertengahan abad ke-19. peoses pemeriksaan perkara pidana berdasarkan sistem
inqusitoir dimasa itu dimulai dengan adnya inisiatif dari penyidik atas kehendak
sendiri untuk menyelidiki kejahatan.
Satu-satunya pemeriksaan pada masa itu adalah untuk
memperoleh pengakuan dari tersangka. Khususnya dalam kejahatan berat, apabila
tersangka tidak mau secara sukarela untuk mengakui perbuatannya atau
kesalahannya itu, maka petugas pemeriksa memperpanjang penderitaan tersangka
melalui cara penyiksaan sampai diperoleh pengakuan. Setelah petugas selesai
melakukan tugasnya, kemudian dia akan menyampaikan berkas hasil pemeriksaanya
kepada pengadilan. Pengadilan akan memeriksa perkara tersangka hanya atas dasar
hasil pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam berkas tersebut. Walaupun pada,
masa ini telah ada penuntut umum, namun ia tidak memiliki peranan yang berarti
dalam proses penyelesaian perkara, khususnya dalam pengajuan, pengembangan
lebih lanjut atau dalam penundaaan perkara yang bersangkuatan. Apabila
diteliti, akan tampak proses penyelesaian perkara pidana pada masa itu sangat
singkat dan sederhana. Kemudian dengan timbulnya gerakan revolusi Perancis yang
telah mengakibatkan banyak bentuk prosedur lama didalam peradilan pidana
dianggap tidak sesuai dengan perubahan iklim social dan politik secara
revolusi. Khususnya dalam bidang peradilan pidana muncul bentuk baru yakni the
mixed type, Yang menggambarkan suatu sistem peradialan pidana modern di dataran
eropa, yang dikenal dengan the modern continental criminal procedure. Munculnya
sistem baru dalam peradialn pidana ini diprakarsai oleh para cendikiawan eropa.
Pada sistem themixed type tahap pemeriksaan pendahuluan sifatnya inquisitoir,
akan tetapi proses penyelidikan dapat dilaksanakan oleh public prosecutor.
Selain itu pada sistem ini peradialan dilakukan secara terbuka. Dalam
pelaksanaannya penyelidikan terdapat seorang ”investigating judge” atau pejabat
yang tidak memihak yang ditunjuk untuk menyelidiki bukti-bukti dalam perkara
pidana.
Kemudian ketika bangasa belanda melakukan penjajahan di
Indonesia, hukum acara pidana di Indonesia merupakan produk dari pada
pemerintahan Bangsa Belanda. Kemudian peraturan yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan adalah Reglemen
Indonesia yang dibaharui atau juaga dikenal dengan nama Het Herziene inlandsch
Rgelement atau H.I.R (staatsblad tahun 1941 nomor 44).
Dalam H.I.R terdapat dua macam penggolongan hukum acara
pidana yaitu hukum acara pidana bagilandraad dan hukum acara pidana bagi raad
van justitie. Penggolongan hukum acara pidana ini merupakan akibat semata dari
pembedaan peradilan bagi golongan penduduk bumi putra dan peradilan bagi golongan
bangsa eropa dan timur asing di jaman hindia belanda.
Meskipun undang-undang Nomor 1 drt. Thn 1951 telah
menetapkan, bahwa hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku di seluruh
Indonesia yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum didalamnyabelum
memberikan jaminan dan tehadap hak-hak asasi manusia, perlindungan terhadap
harkat dan mertabat menusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu Negara
hukum.
Oleh karena itu, demi pembangunan dalam bidang hukum and
sehubungan dengan hal sebagaimana telah dijelaskan, maka Het Herziene Inlandsch
Reglement, berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 serta semua
pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peaturan perundang-undangan
lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum pidana perlu dicabut karena tidak
sesuai dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan Undang-Undang hukum
acara pidana yang baru yang mempunyai cirri kodifikatif dan unifikatif
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.
Dengan diberlakuaknnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (Undang- Undang No.8 tahun 1981) di Indonesia maka segala peraturan
perundang-undangan sepanjang mengatur tentang pelaksanaan daripada hukum acara
pidana dicabut. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah
diletakkan dasar-dasar humanisme dan merupakan suatu era baru dalam lingkungan
peradilan di Indonesia. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Di
Indonesia merupakan hukum yang berlaku secara nasional yang didasrkan pada
falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, kesimpulannya adalah
hukum acara pidana di Indonesia merupakan produk hukum dari belanda dyang
dituangkan dalam bentuk Het Herziene Inlansch Reglement (H.I.R) yang masih
terpengaruh oleh sistem hukum Negara-negara eropa yang kemudian digantikan
dengan Unadang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, yang berlaku
sampai dengan sekarang.
A. ACARA PIDANA SEBELUM
ZAMAN KOLONIAL
Pada waktu penjajah Belanda pertama kali menginjakan kakinya
dibumi nusantara, negeri ini tidaklah gersang dari lembaga tata negara dan
lembaga tata hukum. Telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional
sendiri yang kemudian disebut hukum adat.
Pada umumnya pada masyarakat primitif pertumbuhan hukum
privat dan hukum publik dalam dunia moderen, tidak membedakan kedua bidang
hukum itu. Hukum acara perdata tidak terpisah dari hukum acara pidana, baik di
Indonesia maupun didunia barat (termasuk Belanda). Tuntutan perdaata dan
tuntutan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.
Jadi lembaga seperti jaksa atau penunut umum adalah lembaga
baru. Tidak terdapat masyarakat primitif. Prancis biasa disebut orang sebagai
tempat kelahiran lembaga itu. Pada bagian belakang dapat dibaca bahwa istilah
jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta adhyaksa artinya sama dengan
hakim pada dunia moderen sekarang ini.
Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap
alam semesta merupakan suatu totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain
dengan lingkungannya merupakan kesatuan. Menurut alam pikiran itu, yang paling
utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis yang satu dari yang lain.
Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran
hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari bagaimana
mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanaya berupa pembayaran
keseimbangan yang terganggu itu. Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional
Indonesia sering digantungkan pada kekuasaan Tuhan. Didaerah Wojo dahulu
dikenal cara pembuktian dengan membuat asap pada abu raja yang dianggap paling
adil dan bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu mengarah pihak itulah
yang dipandang paling benar.Sistem pimidanaannya pun sangat sederhana.
Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het
Adatrecht bagian X yang disebut juga :
Pengganti kerugian “immateriil” dalam pelbagi rupa seperti
paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan Bayaran “ uang adat “ kepada orang yang terkena, yang berupa
benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dan segala
kotoran gaib Penutup malu, permintaan maaf Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar
tata hukum
B. PERUBAHAN PERUNDANG-UNDANGAN
DINEGERI BELANDA YANG ASAS KONKORDANSI DIBERLAKUKAN PULA DIINDONESIA
KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada yang
menyebutkannya suatau karya agung, merupakan penerusan pula asas-asas hukum
acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih
moderen itu. Dalam usaha menengok masa lampau itu kita terbawa oleh rus kepada
perubahan penting perundang-undangan dinegeri Belanda pada tahun 1838, pada
waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan Prancis. Pada waktu itu,
golongan legis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya
dalam bentuk undang-undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa
kelaziman-kelaziman tidak merupakan, kecuali bilamana kelaziman tersebut
ditunjuk dalam undang-undang ( aturan hukum yanghukum yang tertulis dan terbuat
dengan sengaja ). Pada tahun 1747 VOC telah mengatur organisasi peradilan
pribumi dipedalan, yang langsung memikirkan tentang “Javasche wetten”
(undang-undang Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffls untuk
menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di negeri
Belanda tersebut, maka usaha ini ditangguhkan. Sebelum berlakunya
perunang-undangan baru dinegeri Belanda, yaitudalam tahun 1836. scholten van Oud-Haarlem
telah menyatakan kesediannya untuk mempersiapkan perundang-undangan baru
diHindia Belanda disamping jabatannya sebagai presidan Hooggerechtshof. Ia
memangku jabatannya itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan
Mr P. Mijer, ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk
mempersiapkan perundang-undangan baru iu di hindia Belanda.
C. INLANDS
REGLEMENT KEMUDIAN HERZIENE INLANDS REGLEMENT
Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei
1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jendral tanggal 3 desember 1847 Sld Nomor
57 ialah Inlands Reglement atau disingkat IR. Mr Wichers mengadaan beberapa
perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral, tetapi ia mempertahankan hasil
karyanya itu pada umumnya. Akhirnya, reglemenn tersebut disahkan oleh Gubernur
Jendral, dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Sbld nomor 16, dan dikuatkan
dengan firman Raja tanggal 29 september 1849 \nomor 93, diumumkan dalam Sbld
1849 nomor 63. Dengan Sbld 1941 nomor 44 di umumkan kembali dengan Herziene
Inlands Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah
dengan perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum,
yag dahulu ditempatkan dibawah pamongpraja. Dengan perubahan ini maka openbaar
ministerie (OM) atau parket itu secara bulat dan tidak terpisah-pisahkan (een
en ondeelbaar) berada dibawah officier van justitie dan procureur generaal.
Dalam praktek IR masih masih berlaku disamping HIR dijawa dan madura. HIR
berlaku dikota-kota besar seperti jakarta (batavia), Bandung, Semarang,
Surabaya, Malang, dan lain-lain, sedangkan di kota-kota lain berlaku IR. Untuk
golongan bumiputera, selain yang telah disebutkan dimuka, masih ada pengadilan
lain seperti districhtsgerecht, regentshapsgerecht, dan luar jawa dan madura
terdapatterdpat magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten
yang memutus perkara perdata yang kecil-kecil. Sebagai pengadilan yang
tertinggi meliputi seluru “Hindia Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang
putusan-putusannya disebut arrest. Tugasnya diatur dalam pasal 158 Indische
Staatsregeling dan RO.
D. ACARA PIDANA
PADA ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG DAN SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Pada zaman pendudukan jepang, pada umumnya tidak terjadi
perubahan aasi kecuali hapusnya Raad van justitie sebagai pengadilan untuk
golongan Eropa. Dengan undang-undang (osamu serei) nomor 1 tahun 1942 yang
mulai berlaku pada tanggal 7 maret 194, dikelurkan aturan peralihan dijawa dan
madura. Dengan demikian, cara pidana pun pada umumnya tidak berubah, HIR dan
Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechtsreglement berlaku untuk
pengadilan negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan tinggi (koot Hooin) den pengadilan
Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan ini diatur dengan Osamu Serei nomor 3
tahun 1942 tanggal 20 september 1942.
Perbandingan antara HIR dan KUHPidana
HIR:
A. Hukum formal atau mengatur bagaimana penegakan atau
pelaksanaan BW
B. Kedudukannya ada pada lapangan hukum privat
C. Berlaku sebagian daerah (p.Jawa dan Madura)
KUHPpidana:
A. Merupakan hukum materiil
B. Kedudukannya ada pada lapangan public
C. Berlaku untuk selruh Indonesia
E. HUKUM ACARA
PIDANA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1 (DRT) TAHUN 1951
Dengan undang – undang tersebut dapat dikatakan telah
diadakan unifikasi hukum acara pidanadan susunanpengadilan yang beraneka ragam
sebelumnya. Menurut Pasal 1 undang – undang tersebut dihapus yaitu sebagai
berikut :
1. Mahkamah
Yustisi di Makasar dan alat penuntut umum padanya.
2. Appelraad di
Makasar.
3. Apeelraad di
Medan.
4. Segala
pengadilan Negara dan segala landgerecht (cara baru) dan alat penuntut umum
padanya.
5. Segala
pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum padanya.
6. Segala
pengadilan magistraad (pengadilan rendah).
7. Segala pengadilan
kabupaten
8. Segala raad
distrik.
9. Segala
pengadilan negorij.
10. Pengadilan
swapraja.
11. Pengadilan adat.
Hakim perdamaian desa yang diatur oleh Pasal 3a RO itu masih
berhak hidup dengan alasan sebagai berikut :
1. Yang dicabut oleh
KUHAP ialah yang mengenai acara pidana sedangkan HIR dan Undang – undang Nomor
1 (drt) 1951 juga mengatur acara perdata dan hukum pidana materiil.
2. Undang –
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman juga tidak menghapusnya.
F. LAHIRNYA KITAB
UNDANG – UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
Setelah lahirnya orde baru terbukalah kesempatan untuk membangun segala segi kehidupan.
Puluhan undang – undang diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan
warisan kolonial.
Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk
suatu panitia di departemen Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana
undang – undang Hukum Acara Pidana. Pada waktu Mochtar Kusumaatmadja
menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri Kehakiman, penyempurnaan rencana
itu diteruskan. Pada Tahun 1974 rencana terseut dilimpahkan kepada Sekretariat
Negara dan kemudian dibahas olehwmpat instansi, yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan
Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri dan Departemen Kehakiman.
Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam
penyusunan rencana tersebut diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang
Hukum Acara Pidana itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas
dengan amanat Presiden pada tanggal 12 September1979 Nomor R.08/P.U./IX/1979.
Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaran Tim
Sinkronisasi dengan wakil pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian
dikenal dengan Pasal 284.
Pasal 284 ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan
diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap hukum acara pidana khusus
seperti misalnya yang terdapat dalam Undang – undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Tapi kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak
ada tanda – tanda adanya usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut,
bahkan dengan PP Nomor 27 Tahun 1983 telah ditegaskan oleh Pemerintah bahwa
penyidikan delik – delik dalam perundang – undangan pidana khusus tersebut,
dilakukan oleh berikut ini. Penyidik Jaksa.Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan
peraturan perundang – undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).
Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding
paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan
menjadi undang – undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG
– UNDANG ACARA PIDANA (Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76,
TLN Nomor 3209.
Posting Komentar
Posting Komentar