Kebutuhan biologis merupakan kebutuhan dasar yang bersifat alamiah. Namun tidak sedikit jumlah manusia yang salah dalam menggunakan dan menempatkannya. Banyak berita yang kita terima, kehancuran sebuah rumah tangga, kehancuran tatanan sosial dan lain sebagainya disebabkan oleh penyimpangan seks ini. Sementara kampanye yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadikan seks (hubungan di luar nikah) sebagai sebuah komoditi yang menggiurkan dengan menyediakan produk pembantu hubungan seks sampai menyediakan tempat bagi wanita dan pria yang mengkomersial seks (hubungan di luar nikah) atau dalam istilah sekarang dengan industri seks.
Hubungan di luar nikah merupakan perbuatan
dosa yang mudah kita temukan. Maka yang terpenting dari ini semua adalah
bagaimana kita berupaya untuk tidak terjerumus dalam Lumpur dosa ini. Islam
memberi solusi dengan melalui anjuran untuk menikah, diharapkan dengan anjuran
ini dapat menjadi perisai ketika ingin berhubungan di luar nikah. Karena ketika
muncul libido (nafsu syahwat) maka ada tempat yang halal untuk disalurkan.
Anjuran untuk menikah dan perintah melaksanakan perkawinan ini didasarkan pada
firman Allah Swt dalam surat al-Nisa' ayat 3,
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Artinya bahwa :
“Kemudian jika kalian khawatir
tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak
perempuan yang kalian miliki”.
Selain
perintah ini Rasulullah Saw juga menganjurkan para pemuda yang telah dewasa
untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau:
يا معشرالشباب من استطاع
منكم الباءة فليتزوج فإنه اغض للبصر واحصى للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه
له وجاء.
Artinnya bahwa:
"Hai para pemuda! Siapa saja
diantara kamu yang sudah mampu menanggung biaya, maka hendaknya ia kawin,
karena kawin itu membatasi pandangan dan menjaga kehormatan. Bagi siapa belum
mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai
baginya".
Para
ulama mengomentari dari perintah ini bahwa, anjuran menikah lebih diarahkan
kepada orang yang ditakutkan akan terjatuh pada hubungan di luar nikah, jika
tidak menikah.
Ibnu Qudamah mengatakan, "para
sahabat kami berbeda pendapat tentang wajib tidaknya menikah. Pendapat yang paling populer
menyebutkan bahwa menikah itu tidak wajib kecuali bagi orang, yang jika tidak
menikah, takut dirinya akan jatuh pada perhubungan di luar nikahan, sehingga ia
harus menjaga kesucian diri.”
Menurut al-Qurthubi, "Adapun orang yang
telah mampu dan kuatir, jika membujang akan mengakibatkan dampak negatif pada
diri dan agamanya dan hanya bisa dilampiaskan dengan menikah, maka semua ulama
sepakat mewajibkan menikah.
Nash dan pendapat para ulama di atas memberikan suatu
pemahaman yang jelas bahwa nikah merupakan solusi yang bermartabat untuk
menghindari perhubungan di luar nikahhan. Namun dalam
kenyataannya, orang-orang sudah menikahpun masih ada yang melakukan perbuatan hubungan
di luar nikah. Banyak faktor yang melatar belakangi masalah ini. Namun paling
tidak dengan membangun keluarga yang penuh dengan mawaddah dan rahmah
maka insya Allah pernikahan ini mampu menjaga kehormatan dan martabat untuk
hidup melakukan hubungan di luar nikah.
“Interpretasi
kehamilan secara lahir berarti muatan yang berat (himl) dan secara batin
(tidak tampak) berarti kandungan yang ada di dalam (haml). Hamil berarti
keadaan seorang wanita yang mengandung anak atau janin di dalam rahimnya
setelah terjadi pembuahan dalam rahim akibat hubungan seksual.”
Walaupun demikian, para ulama
berbeda pendapat tentang penemuan awal perhitungan waktu enam bulan tersebut. Beberapa ulama berpendapat bahwa waktu kehamilan enam bulan itu dihitung
sejak terjadinya akad nikah, sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa
perhitungannya dimulai sejak terjadinya persetubuhan suami istri. Artinya, anak
yang dilahirkan itu bisa hidup ketika enam bulan berada dalam rahim ibunya.
“Hal
ini senada dengan ilmu kedokteran bahwa masa minimal kehamilan yang
memungkinkan bayi yang dilahirkan itu hidup ialah setelah masa kehamilannya
enam bulan. Istilah dari kelahiran ini dinamakan kelahiran premature. Kelahiran
semacam ini sangat membahayakan kehidupan bayi sehingga perlu perawatan secara
khusus. Kelahiran janin sebelum berumur enam bulan berada dalam perut ibunya
dinamakan abortus, janin yang lahir ini tidak mungkin hidup.”
Hal ini merupakan suatu pembenaran
secara ilmiah yang sebelumnya telah dijelaskan kebenaran itu lewat firman Allah
Swt. Kemudian firman ini dijadikan landasan hukum bagi para fuqaha dalam
menetapkan masa minimal kehamilan adalah enam bulan. Sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Ahqaf: 15
وحمله وفصاله ثلاثون شهرا
Artinnya bahwa:
“Mengandungnya dan menyapihnya adalah tiga
puluh bulan”. (QS Al-Ahqaf: 15)
Allah SWT
juga menjelaskan dalam masa menyapih adalah dua tahun. Dalam firman-Nya:
والوالدات يرضعن اولادهن حولين عامين
Artinnya bahwa:
“Dan para ibu
hendaklah menyusuhkan anak-anaknya selama dua tahun penuh.” (QS. Al-Baqarah:
233)
Dari surat Al-Ahqaf ayat 15 di atas menjelaskan secara menyeluruh dari masa
mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Pada
ayat kedua hanya dijelaskan masa menyapihnya adalah 2 tahun atau 24 bulan. Maka
jelas secara matematis dari 30 bulan, 24 bulan masa menyapih dan sisanya 6
bulan adalah masa kehamilan.
Dari uraian batas minimal
kehamilan ini dapat memberikan beberapa peristiwa hukum yang dapat diambil
adalah sebagai berikut:
a. Pendapat beberapa pendapat: bahwa
masa kehamilan enam bulan dihitung sejak terjadinya akad nikah. Ketika seorang
istri melahirkan dalam keadaan normal dan sempurna secara jasmani, namun kurang
dari enam bulan, maka anak yang dilahirkan ini bukan berasal dari hasil
pernikahan yang sah, melainkan anak hasil hubungan seksual hubungan di luar
nikah.
b. Apabila seorang suami menceraikan istrinya sesudah dia
mencampurinya, lalu istrinya menjalani ‘iddah, dan sesudah habis masa ‘iddahnya
dia kawin dengan laki-laki lain. Kemudian sesudah kurang dari enam bulan dari
perkawinannya dengan suaminya yang kedua, tapi enam bulan lebih bila dikaitkan
dengan percampurannya dengan suaminya yang pertama, tapi tidak lebih dari batas
maksimal kehamilan, maka anak tersebut dinisbatkan pada suami yang pertama.
Tetapi bila anak tersebut lahir sesudah enam bulan perkawinannya dengan
suaminya yang kedua, maka anak itu dikaitkan nasabnya kepada suaminya yang
kedua.
Dalam menentukan masa
maksimal kehamilan, para ulama berbeda pendapat, dalam hal ini:
a. Dari kalangan
ulama Sunni. Bahwa:
1.
Batas maksimal kehamilan adalah dua tahun,
berdasar hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa, kehamilan seorang wanita tidak
akan melebihi dua tahun.
2.
Masa kehamilan
maksimal seorang wanita adalah empat tahun. Para ulama madzhab ini menyandarkan
pendapatnya pada riwayat bahwa istri ‘Ajlan hamil selama empat tahun.
3. Ulama madzhab
Syafi’i juga terdapat perbedaan, mayoritas adalah sembilan bulan, yang lain
mengatakan sepuluh bulan dan yang lain lagi mengatakan setahun penuh. Tetapi
mereka seluruhnya sepakat bahwa batas maksimal kehamilan itu tidak boleh lebih
satu jam dari satu tahun.
4. Kehamilan itu bisa berlangsung selama lima tahun. Pendapat
ini adalah salah satu dua pendapat Imam Malik dan ini juga pendapat Ibad bin
al-Awwam.
Jika hal ini ditinjau dari ilmu
kedokteran bahwa masa kehamilan yang alami (wajar) adalah 280 hari terhitung
sejak awal berakhirnya haid yang dialami oleh seorang wanita.
Sebab kehamilan itu biasanya terjadi kira-kira
pada hari keempat belas dari permulaan haid.
Berbagai sumber (pendapat), baik dari pendapat para fuqaha’
dan pendapat kedokteran, berdasarkan realita bahwa masa kehamilan maksimal yang
memungkinkan bagi ibu hidup adalah sepuluh bulan, ini mendekati pendapat Ibnu
Hazm Umar bin al-Khatthab dan beberapa ulama madzhab Syifi’i.
Hubungan
di luar nikah menurut al-Jurjani, adalah:
الوطأ فى قبل خال عن ملك وشبهة
Artinnya bahwa: "Memasukkan
penis (zakar, bahasa Arab) ke dalam vagina (farji bahasa Arab) bukan miliknya
(bukan istrinya) dan tidak ada unsur sub had (keserupaan atau kekeliruan).”
Hal ini disepakati oleh seluruh
ulama' bahwa jika terjadi persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang
berlainan jenis tanpa didahului oleh sesuatu pernikahan yang sah dan tidak ada
unsur kekeliruan atau keserupaan maka perbuatan ini dihukumi hubungan di luar
nikah dan berlaku hukuman had atasnya .batasan hubungan di luar nikah yang mengharuskan
hukuman itu adalah masuknya kepala kemaluan laki-laki (atau seukuran
kepala kemaluan itu bagi orang yang terpotong kemaluannya) ke dalam kemaluan wanita yang tidak halal disetubuhi, sekalipun
tanpa keluarnya sperma.
Dengan ketentuan ini, jika dua orang yang berbeda kelamin
baru bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat dihukumi hubungan
di luar nikah yang dapat dijatuhi hukuman had, tetapi mereka dapat di ta'zir
yang bersifat edukatif .Adapun hukuman ta'zir ditentukan oleh qhadi.
Pada zaman sekarang ini
muncul kelompok-kelompok yang menyebar-luaskan kebebasan ekstrim dalam seks.
Mula-mula dianjurkan dan dikembangkan doktrin "cinta bebas" atau
"free love", yang pada hakikatnya berupa aktivitas "seks
bebas" (free seks). Melalui "cinta bebas" dan "seks
bebas" diharapkan tumbuhnya suatu bentuk cinta sejati. Akan tetapi, jika
sekiranya cinta macam ini tidak bisa dimunculkan, maka orangpun tak dirugikan
oleh karenanya, sebab mereka sudah bisa menikmati kepuasan seksual dengan
permainan "kebebasan seks" (sex freedom).
Ide kebebasan seks
dicetuskan karena orang beranggapan bahwa masalah seks sepenuhnya adalah
masalah yang prive dan masyarakat sama sekali tidak berhak mencampuri urusan
tersebut. Para penganjur seks bebas menolak prinsip kontrol sosial terhadap
aktivitas seks.
Ini merupakan prinsip yang
diliputi oleh hawa nafsu, karena secara umum seluruh agama samawi melarang
perbuatan hubungan di luar nikah (seks). Begitu pula dengan agama Islam, bahkan
Islam memposisikan hubungan di luar nikah sebagai dosa besar. Sebagaimana
firman Allah Swt dalam surat al-Furqan ayat 68:
والذين لايدعون مع الله
الها اخر ولا يقتلون النفس التى حرم الله الا بالحق ولا يزنون ومن يفعل ذلك يلق
اثاما {الفرقان: 68}
Artinnya bahwa:
"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang
lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berhubungan di luar
nikah." (QS. Al-Furqon: 68)
Ayat ini dapat diuraikan bahwasanya dosa
besar secara berurutan, bahwa syirik kepada Allah menempati posisi pertama dan
membunuh dan hubungan di luar nikah menduduki posisi dua dan tiga. Namun satu
hal yang menarik bahwasanya hubungan di luar nikah juga terdapat unsur
membunuh. Berhubungan di luar nikah berarti membunuh proses awal kehidupan,
karena ia "memancarkan unsur kehidupan" secara tidak benar, yang
biasanya setelah itu disertai dengan keinginan untuk menghapus perbuatan
tersebut dengan membunuh janin, berhubungan di luar nikah juga merupakan bentuk
lain dari membunuh masyarakat, yakni dengan menghilangkan garis keturunan,
mencampur baurkan hubungan darah, menghilangkan kehormatan dan harga diri anak,
dan mengoyak bangunan dan norma masyarakat, yang ujungnya kepunahan sebuah
garis keturunan. Maka layak bahwa hubungan di luar nikah merupakan suatu
perbuatan yang berkonsekwensi dosa besar.
Hubungan di luar nikah
dikategorikan sebagai salah satu dosa besar juga dapat dilihat dalam firman
Allah surat al-Isra' ayat 32:
ولا تقربوالزنى انه كان
فاحشة وساء سبيلا {الاسراء: 32}
Artinnya bahwa:
"Dan
janganlah kamu mendekati hubungan di luar nikah, sesungguhnya hubungan di luar
nikah itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan
suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra': 32)
Ibnu katsrir menafsirkan ayat ini, bahwa hubungan
di luar nikah merupakan suatu dosa besar dan dilihat dari penafsiran kata وساء سبيلا "dan suatu jalan yang buruk" itu merupakan
seburuk-buruk jalan dan karakter.
Posting Komentar
Posting Komentar