Tampilkan postingan dengan label Argumentasi Hukum. Tampilkan semua postingan

 

DENGAN waktu penyusunan yang relatif singkat, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja alias Cilaka) sebagai undang-undang, Senin (5/10/2020). Mengikuti jejak revisi Undang-Undang Minerba, peraturan yang disusun dengan metode omnibus ini juga memanfaatkan masa pandemi COVID-19 untuk mengurangi kebisingan dan penolakan dari kelompok penolak, mulai dari mahasiswa, aktivis LSM, serikat buruh hingga rakyat pekerja secara luas. 

Telah banyak pihak menyampaikan kekhawatiran atas substansi dari undang-undang ini. Mengingat cakupannya yang luas dan kompleks, perhatian atas UU Cipta Kerja cenderung parsial: fokus pada klaster-klaster tertentu. Kelompok buruh, misalnya, fokus mengkritisi pasal-pasal pada klaster ketenagakerjaan; sedangkan aktivis lingkungan memberikan perhatian lebih besar terhadap dampak undang-undang sapu jagat ini bagi lingkungan; dan seterusnya. Tentu tidak ada yang keliru dari itu karena  kelompok sosial dalam masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda dalam melihat undang-undang ini. Namun demikian, pembacaan parsial akan sulit menghasilkan gambaran menyeluruh yang menjadi perekat antara kepentingan dari masing-masing kelompok.

Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya mencoba memberikan gambaran yang lebih koheren atas UU Cipta Kerja.

Pembacaan teoretis penting untuk memberikan penjelasan bagaimana penyusun regulasi melihat masalah dan menawarkan jalan keluarnya melalui undang-undang. Pada titik inilah telaah atas Naskah Akademik (NA) dibutuhkan untuk menguji urgensi filosofis, sosiologis dan yuridis dari undang-undang dimaksud. Saya akan memfokuskan pembahasannya pada aspek metode dan kerangka teoritis yang digunakan dalam NA.

Tulisan ini merupakan pemutakhiran opini berjudul “Menguji Landasan Teori RUU Cipta Kerja” yang saya unggah di media sosial pada Maret lalu. 


Kerangka Teori UU Cipta Kerja

Saya mengidentifikasi dua teori dominan yang diasumsikan dalam NA. Pertama adalah Doktrin Hukum dan Pembangunan (Law and Development Doctrine) yang digunakan untuk membangun hubungan antara hukum dan ekonomi (kapitalisme) dalam konteks makro. Kerangka teori yang kedua adalah Analisis Ekonomi atas Hukum (Economic Analysis of Law) yang digunakan sebagai pisau analisis mikro terhadap pasal-pasal dalam undang-undang terkait agar sejalan dengan penciptaan iklim investasi yang efisien.

Doktrin Hukum dan Pembangunan bertumpu pada tesis klasik Max Weber dalam bukunya Economic and Society. Weber (1978, 1394) menyatakan bahwa, “kapitalisme modern menumpukan usahanya pada kemampuan kalkulabilitas dari sistem hukum dan administrasi, yang mana fungsinya dapat diprediksi secara rasional…berdasarkan pada norma umumnya yang ajeg, bekerja layaknya sebuah mesin.” Dalam pandangannya, perkembangan kapitalisme mensyaratkan instrumen dan institusi hukum yang formal-rasional sehingga mampu memberikan perhitungan (calculability) dan prediksi (predictability).

Di era 1950an, tesis ini berkembang menjadi mazhab hukum baru di Amerika Serikat bernama Law and Development (Hukum dan Pembangunan), sebagai subset dari Teori Modernisasi. Secara sederhana, sebagaimana diungkapkan oleh Talcott Parsons, teori ini percaya bahwa ketertinggalan negara-negara berkembang disebabkan oleh fitur-fitur hukum dan kelembagaan yang masih tradisional. Untuk itu dibutuhkan transplantasi maupun duplikasi fitur-fitur modern, termasuk substansi dan institusi hukum.

Mazhab ini mengalami pasang surut dan mengalami tiga momen perubahan paradigmatis demi mengatasi kegagalan demi kegagalan. Pertama, periode Law and Development State (1950an-1970an) yang menumpukan pertumbuhan ekonomi melalui peran negara. Di sini, hukum digunakan sebagai instrumen bagi negara untuk melakukan intervensi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Periode kedua berlabel Law and Neoliberal Market (1980an-1990an) yang dipengaruhi oleh neoliberalisme versi Washington Consensus. Di sini hukum menjadi sarana deregulasi dan privatisasi untuk memperluas jangkauan pasar. Para periode ini pula terjadi serial krisis yang membuktikan kegagalan pasar, termasuk krisis moneter akhir 1990an di Indonesia.

Berangkat dari kegagalan sebelumnya, Doktrin Hukum dan Pembangunan bermetamorfosis ke dalam periode ketiga (2000an-sekarang) yang disebut Neoliberalisme Inklusif. Periode termutakhir ini dipengaruhi oleh pandangan Neo-Institutional Economics (NIE) dan konsep pembangunan inklusif yang mengikuti anjuran Amartya Sen. Di sini, institusi hukum didesain sebagai sarana mencegah kegagalan pasar dan pembangunan didorong untuk melampaui ekonomi dengan mengakomodasi aspek sosial dan lingkungan yang menjadi jaring pengaman bagi keberlanjutan ekonomi pasar.

Di ranah akademis, hubungan hukum dan ekonomi yang dinilai aksiomatis oleh para penganut Doktrin Hukum dan Pembangunan sebenarnya masih terus mengalami perdebatan. Dilihat lebih dalam, doktrin tersebut memiliki kontradiksi internal. Di satu sisi, hukum dijadikan instrumen bagi negara dan pelaku ekonomi untuk memprediksi kerja hukum yang pada gilirannya digunakan dalam mengkalkulasi tindakan bisnisnya. Namun di sisi lain, instrumentalisasi hukum ini mensyaratkan adanya formalisme hukum dalam bentuk norma yang pasti dan bekerja secara mekanistik. Dengan kata lain, dalam Doktrin Hukum dan Pembangunan, kepastian hukum merupakan selubung untuk menutupi agenda  instrumentalisasi hukum dalam rangka akumulasi kapital sehingga tidak mengherankan jika mantra ‘kepastian hukum’ paling sering dilafalkan oleh negara dan pelaku usaha.

Dalam cakrawala teoretis tersebut, NA UU Cipta Kerja terbaca sangat problematik. Dari sisi empiris, Indonesia pasca-otoritarianisme telah masuk ke dalam periode Neoliberalisme Inklusif. Ini ditandai dibangunnya kelembagaan hukum mulai dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang difungsikan untuk menciptakan level playing field dan memberantas ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh korupsi.

Alih-alih melanjutkan perbaikan dan penguatan institusi yang sudah dibentuk, melalui UU Cipta Kerja, negara kehilangan kepercayaan terhadap Neoliberalisme Inklusif dan mengambil langkah memutar balik.

Secara konseptual, NA masih menggunakan kerangka pikir kepustakaan Law and Neoliberal Market. Hal ini tercermin dari dirujuknya tesis Leonard J Theberge (1980) yang menekankan pentingnya deregulasi untuk mendorong perluasan pasar. Di samping itu, konsep pembangunan yang telah mengarah pada inklusivitas dengan model pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dalam NA dikembalikan kepada periode Law and Development State, di mana pembangunan semata-mata dimaknai di ranah ekonomi.

Konsekuensinya, sisi negatif dari kedua periode tersebut dapat terakumulasi. Dengan cara pandang Law and Neoliberal Market, pelaku usaha dipandang sebagai agen utama pembangunan yang layak mendapatkan perlakukan istimewa dengan berbagai relaksasi peraturan, termasuk bidang perburuhan dan lingkungan hidup, dan segudang insentif. Di sisi yang lain, sebagaimana dalam periode Law and Development State, negara bertugas memastikan target-target pertumbuhan ekonomi dapat terpenuhi. Konsekuensinya, negara menjadi semakin represif terhadap aktor-aktor sosial yang dianggap berpotensi menghambat pencapaian target tersebut.

Mengikuti pandangan tersebut, UU Cipta Kerja akan menjadi penanda kembalinya Indonesia ke pangkuan otoritarianisme.

Kemudian Analisis Ekonomi atas Hukum. Cara pandang peraturan ini menggunakan pendekatan untung-rugi (cost and benefit analysis). Permasalahan sosial dan lingkungan sebagai dampak dari investasi diarahkan pada penggunaan pendekatan berbasis risiko. Dalam konteks ini, penyusun NA mendasarkan cara berpikirnya pada asumsi Ronald Coase (1960) dalam The Problem of Social Cost, di mana jaminan perlindungan atas kepemilikan investor dan biaya transaksi sosial dan lingkungan yang rendah akan membuat para pihak mengadopsi solusi yang paling efisien dalam mengatasi risiko. Ilustrasinya, apabila pencemaran terjadi maka masalah ini akan diselesaikan antara perusahaan pencemar dan korban pencemaran melalui solusi yang paling murah.

Tentu saja untuk mencapai solusi yang paling murah, para pihak yang terlibat harus mampu mengkonservasi kepentingannya dalam bentuk uang sebagai currency dalam perundingan. Berdasarkan pada cara pandang inilah, NA membangun justifikasi bahwa pihak yang dapat terlibat dalam proses perundingan berbasis analisis risiko adalah mereka yang memiliki currency yang sama, yakni uang.

Agenda ini jelas terlihat ketika UU Cipta Kerja memberikan hak berpartisipasi dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) hanya untuk masyarakat yang terkena dampak langsung. Hal ini karena mereka dianggap dapat menghitung kerugian ekonomi dari risiko yang bisa timbul akibat sebuah investasi. Nilai kerugian dalam bentuk sejumlah uang ini selanjutnya akan digunakan sebagai currency dalam negosiasi guna mencapai nominal yang disepakati bersama.

Organisasi lingkungan hidup yang sebelumnya juga diberikan akses untuk berpartisipasi dihilangkan aksesnya karena mereka bukan kelompok yang bisa menderita kerugian yang bisa dinominalkan. Keterlibatan mereka dianggap berpotensi mengganggu kalkulasi untung-rugi. Padahal, dalam perkara lingkungan, tidak semua aspek yang ada di alam dapat dikonversi dalam bentuk uang sebagaimana model yang dikembangkan Coase.

Selanjutnya, penanggulangan risiko melalui pendekatan ekonomi juga memengaruhi mekanisme penegakan hukum, di mana dalam UU Cipta Kerja sanksi diarahkan dalam bentuk disinsentif finansial, yakni denda dan ganti rugi.


Metode Penyusunan Naskah Akademik

Dari segi metode, NA UU Cipta Kerja disusun dengan penelitian yuridis normatif. Jenis penelitian ini menumpukan sepenuhnya jawaban atas permasalahan yang diteliti pada data sekunder yang dapat mengandung bias karena data tersebut dipilah dan dipilih sedemikian rupa (cherry picking) semata untuk membenarkan asumsi dan hipotesis penyusun.

Dalam NA UU Cipta Kerja, data sekunder yang dominan dijadikan rujukan adalah statistik yang menunjukkan performa Indonesia di bidang ekonomi di kancah global, salah satunya adalah Ease of Doing Business dari Bank Dunia. Peringkat Ease of Doing Business ini pula yang seringkali dirujuk oleh pemerintah untuk menunjukkan tingkat kemudahan berinvestasi di Indonesia yang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Permasalahannya, karena sifatnya yang kuantitatif, Ease of Doing Business tidak mampu memberikan penjelasan mendalam hubungan kausalitas antara desain hukum di suatu negara dengan pembangunan ekonominya. Ia juga tidak mampu membuktikan bahwa variabel yang digunakan untuk mengukur tidak mengandung bias (Trebilcock & Prado 2014).

Ease of Doing Business tidak terlepas dari kritik tajam baik dalam tataran konseptual maupun metodologis. Pada tataran konseptual, peringkat Ease of Doing Business mereduksi makna hukum secara signifikan. Performa hukum di suatu negara dinilai semata-mata berdasarkan pada sejauh mana hukum dapat difungsikan sebagai platform bagi aktivitas bisnis dan sebagai institusi pendukung sistem ekonomi pasar (laissez faire). Konsekuensinya, peranan hukum untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologi sama sekali tidak mendapatkan tempat dalam konsep hukum yang sempit ini.

Pada tataran metodologis, indikator kuantitatif yang digunakan dalam penilaian Ease of Doing Business juga mereduksi realitas sosial yang kompleks di mana hukum tersebut bekerja. Penilaian atas indikator ini pun menggunakan data berbasis persepsi dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan ekonomi, misalnya firma hukum dan pengusaha (Krever 2013). Dalam hal ini, Santos (2006) menilai bahwa Doing Business merupakan produk persepsi yang jauh dari kata netral dan objektif.

Argumentasi dalam NA hanya disusun berdasarkan asumsi karena ketiadaan penelitian yang bersifat empiris guna mengumpulkan data primer. Hal ini jelas terlihat di NA halaman 181 yang menyebutkan bahwa, “keterlibatan masyarakat oleh sebagian pihak dianggap menjadi faktor penghambat investasi”. Klaim “sebagian pihak” ini diterima mentah-mentah untuk dijadikan alasan menghilangkan akses partisipasi dalam proses Amdal bagi  kelompok masyarakat yang tidak terdampak langsung. Alih-alih mengambil posisi yang parsial, NA sedari awal sudah terkooptasi oleh kepentingan “sebagian pihak” yang menilai partisipasi publik sebagai penghambat investasi.

Singkatnya, UU Cipta Kerja memang didesain untuk meletakkan kepentingan ekonomi sekelompok elite di atas kepentingan perlindungan sosial dan lingkungan. Kita masih belum yakin apakah regulatory fiction UU Cipta Kerja demi kesejahteraan masyarakat akan terwujud, namun yakinlah bahwa UU ini berdampak negatif yang besar bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Penolakan atas pasal-pasal yang bersifat parsial dapat dijembatani dengan pemahaman yang lebih komprehensif atas kerangka ideologi di balik UU Cipta Kerja. Dalam hal ini, seperti yang dijabarkan di atas, UU Cipta Kerja merupakan peneguhan lebih lanjut atas instrumentalisasi hukum demi akumulasi kapital yang mana kontradiksi dengan rakyat pekerja dan ekologi merupakan sebuah keniscayaan.

Dengan demikian, kritik terhadap UU Cipta Kerja haruslah diletakkan sebagai bagian dari kritik atas kapitalisme.

Kemudian, yang juga harus diperhatikan adalah perlawanan-perlawanan rakyat yang semakin besar ini juga dapat menaikkan eskalasi konflik antar-elite. Elite yang berada di luar kekuasaan bisa saja sedang menunggu kesempatan yang tepat untuk menunggangi gerakan untuk memuluskan agenda perebutan kekuasaan.

Oleh karena itu, artikulasi yang lebih tegas—bahwa gerakan ini adalah perlawanan terhadap kapitalisme—akan menjadi pembeda antara gerakan rakyat yang progresif dengan gerakan yang membawa agenda elite oportunis.***


Agung Wardana, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada


Kepustakaan

Max Weber, 1978, Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology, disunting oleh Guanther Roth & Claus Wittich, University of California Press, Barkely & London.

Alvaro Santos, 2006, “The World Bank’s Uses of the ‘Rule of Law’ Promise in Economic Development,” dalam David Trubek & Alvaro Santos (penyunting), The New Law and Economic Development: A Critical Appraisal, Cambridge University Press, Cambridge.

Michael J. Trebilcock & Mariana Mota Prado, 2014, Advanced Introduction to Law and Development, Edward Elgar, Chaltenham.

Tor Krever, 2013, “Quantifying Law: Legal Indicator Projects and the Reproduction of Neoliberal Common Sense,” Third World Quarterly, Vol. 34 (1): 131-150.

Ronald Coase, 1960, “The Problem of Social Cost,” The Journal of Law and Economics 3: 1-44.

Leonard J Theberge, 1980, “Law and Economic Development,” Denver Journal of International Law & Policy 9: 231-238.




      Pada dasarnya, sahnya suatu perjanjian dibuat berdasarkan syarat-syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yaitu :
  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu hal tertentu;
  4. suatu sebab yang halal.
     Syarat-syarat perjanjian sebagaimana tersebut di atas, meliputi syarat subyektif dan syarat obyektif. Apabila perjanjian tidak sesuai dengan syarat subyektif pada angka 1 dan angka 2, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Dan apabila perjanjian tidak sesuai dengan syarat obyektif pada angka 3 dan angka 4, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
       Pasal 52 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), mengatur mengenai akibat hukum terhadap perjanjian kerja yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
  1. kesepakatan kedua belah pihak;
  2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
  3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan, sendagkan perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Pengertian dapat dibatalkan (vernietigbaar) adalah salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Sedangan pengertian batal demi hukum (Null and Void) adalah dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian kerja itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan/atau tidak pernah ada suatu perikatan.

Dalam Pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.

Sumber: http://www.hukumtenagakerja.com/akibat-hukum-terhadap-perjanjian-kerja-yang-bertentangan-dengan-undang-undang-ketenagakerjaan/


    Media sosial saat ini sudah menjadi ajang komunikasi dan sarana berkumpul secara virtual bagi banyak kalangan. Remaja merupakan pengguna terbanyak dari media sosial ini. Kebebasan yang diberikan oleh media sosial merupakan hal yang biasa, hal inilah yang mengakibatkan media sosial banyak digandrungi banyak kalangan. Dengan media sosial, seseorang dapat dengan leluasa untuk mengeluarkan pendapat, atau hanya sekedar meluapkan kesenangan,kekesalan atau hal-hal yang lain dengan bebas.
     Namun dibalik semua kebebasan yang dimiliki di dalam dunia maya, saat ini dapat berimbas juga pada dunia nyata seseorang. Dampak positif dan bahkan dampak negatif dapat terjadi pada seseorang akibat media sosial. Tak perlu diragukan lagi kekuatan media sosial sangat luar biasa, banyak hal-hal positif yang dihasilkan akibat postingan pada media sosial, akan tetapi tak bisa dipungkiri banyak juga dampak negatif akibat media sosial bagi seseorang.
    Kebebasan yang di hadirkan di dalam dunia maya, saat ini dapat menjadi senjata makan tuan bagi seseorang. Kebebasan yang berlebih terkadang membuat seseorang lupa diri untuk memposting sesuatu dalam akun media sosial miliknya. Berdalih meluapkan emosi dalam media sosial dan mencaci seseorang atau kelompok tertentu dapat menjadi bomerang yang sangat berbahaya, hal ini dikarenakan di Indonesia telah berlaku Hukum Positif mengenai Cyber Law ( hukum dunia maya ) yang tertuang dalam Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elaktronik.
   Pelaporan pencemaran nama baik merupakan hal yang sering terjadi akibat postingan yang dapat menyinggung perasaan seseorang. Terlebih pengguna media sosial terbanyak merupakan kaum remaja yang masih memiliki jiwa yang labil dan mudah terpancing emosinya. Dalam dunia nyata pencemaran nama baik diatur dalam pasal 310 Ayat (10) KUHP, yang berbunyi "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah". Namun dalam dunia maya pencemaran nama baik di atur dalam pasal 27 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".
   Bila diperhatikan pasal 27 ayat (3) UU ITE memiliki isi yang lebih sederhana dan lebih luas dibanding dengan pasal 310 ayat (10) yang menjelaskan lebih komplek mengenai pencemaran nama baik. Oleh karena itu pasal 27 ayat (3) ini harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan pada KUHP. Pengaturan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam UU ITE berbanding terbalik dengan pengaturan sanksi pada pasal 310 ayat (10) KUHP. Dimana di dalam KUHP sanksi pidana pencemaran nama baik paling lama pidana penjara sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Sedangkan dalam UU ITE pelanggaran atas pasal 27 ayat (3) di atur dalam pasal 45 ayat (1) yang berbunyi "Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)"
     Pelanggaran terhadap pasal 27 UU ITE terdapat pula pasal pemberat, ketentuan tersebut ada dalam pasal 36 UU ITE yang berunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.". Dimana sanksinya di atur dalam pasal 51 ayat (2) UU ITE,"Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)".
     Pengetahuan mengenai sanksi pidana pencemaran nama baik melalui dunia maya, khususnya melalui media sosial ini semoga menjadi bahan pertimbangan bagi semua pengguna media sosial di Indonesia, agar lebih berhati-hati dalam memposting segala sesuatu dalam akun media sosial yang dapat menyinggung perasaan orang lain atau kelompok tertentu, sehingga media sosial tidak menjadi senjata makan tuan bagi diri kita sendiri. (mada).

Sumber : http://www.madalabs.com/2015/11/senjata-makan-tuan-media-sosial.html

      

         Wifi hacking merupakan kejahatan yang masih tergolong baru, wifi hacking muncul ditengah-tengah fasilitas akses internert di tempat-tempat umum seperti kafe,rumah makan, hotel,dan warnet. Wifi hacking pada umumnya memiliki tujuan untuk mendapatkan akses internet secara gratis.
            Adanya pembobolan terhadap sistem keamanan wifi memberikan dampak yang buruk bagi pengusaha yang menyediakan akses internet sebagai sarana menarik pelanggan, dengan adanya pembobolan tersebut pelanggan mereka dapat berkurang, terlebih jika pembobolan tersebut dilakukan terhadap warnet, kerugian tersebut sangat terasa, hal ini dikarenakan produk utama dari warnet adalah jasa internet, apabila terjadi pembobolan maka warnet tersebut mengalami kerugian.
            Wifi hacking dapat dilakukan dengan menggunakan tiga metode, metode tersebut yaitu :
1.      metode Cracking WEP dan Cracking WPA key;
2.      metode Rouge Access Point;
3.      metode Spoofing Mac Address dan Spoofing IP Address.
       Setiap metode wifi hacking memiliki aspek hukum yang berbeda, sehingga mengakibatkan pengaturan wifi hacking juga berbeda pada setiap metodenya, pengaturan wifi hacking menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah sebagai berikut :
1.      Pengaturan wifi hacking dengan  metode Cracking WEP dan Cracking WPA key
Pasal 30 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat digunakan untuk menjerat pelaku Wifi hacking dengan metode Cracking WEP dan Cracking WPA key. Pasal tersebut menyatakan bahwa :
“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem Elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan”     

sehingga pelaku wifi hacking dengan metode cracking WEP dan Cracking WPA key dapat dipidana dengan menggunakan pasal 46 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
2.      Pengaturan wifi hacking dengan  metode Rouge Access Point
Pelaku wifi hacking dengan menggnakan metode Rouge Accses Point dapat di jerat menggunakan pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi :
“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sitem elektronik tertentu milik orang lain”

Wifi hacking dengan menggunakan teknik Rouge Access Point dapat dipidana dengan pasal 47 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ancaman pidanya adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

3.      Pengaturan wifi hacking dengan metode Spoofing Mac Address dan Spoofing IP Address.
Tidak berbeda dengan teknik Cracking WEP dan WPA key, teknik spoofing Mac Address ini melanggar ketentuan pasal 30 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pelanggaran terhadap pasal tersebut diatur dalam pasal 46 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 
Dalam wifi hacking alat bukti yang digunakan berbeda dengan tindak pidana pada umumnya, alat bukti yang digunakan adalah informasi elektronik serta dokumen elektronik yang dapat berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya, namun tidak terbatas pada hal tersebut saja.

Secara spesifik alat bukti yang dapat digunakan dalam proses pembuktian wifi hacking adalah informasi mengenai Host name, Ip Address, serta Mac Address pembobol system keamanan wifi, informasi tersebut dapat dimasukan dalam file gambar dengan menggunakan bantuan software editing atau software lainya.


PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Dewasa ini,hubungan antar umat beragama telah lama menjadi  isu yang populer di Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan,Tidak hanya itu bahkan hal ini sering menimbulkan polemik dikalangan masyarakat maupun pemerintah.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim.Hal ini sering menjadi pemicu munculnya trend baru dikalangan masyarakat mulai dari berpindahnya keyakinan seseorang hingga mereka harus pindah kewarganegaraan demi tercapainya keinginan mereka.
 Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal) tanpa tahu bagaiamana itu semua terjadi dan bagaimana sebenarnya hal itu diatur. Khususnya menurut aturan Hukum Islam.Oleh karena itu,karya tulis ilmiah ini saya buat guna mengetahui bagaimana perkawinan beda agama atau keyakinan ini menurut perspektif Hukum Islam.

1.2 Rumusan Masalah
  1. Bagaimana perkawinan beda Agama menurut Hukum Islam?
  2. Bagaimana perkawinan beda Agama menurut Hukum positif di Indonesia?

1.3  Tujuan dan Manfaat
1.      Untuk mengetahui pengertian perkawinan
2.      Untuk mengetahui hokum-hukum perkawinan dalam Islam
3.      Untuk mengetahui perkawinan beda agama menurut Hukum Islam



PEMBAHASAN
Pengertian Perkawinan
­­­                Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin. Perkawinan disebut juga “pernikahan” yang berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh.
Berikut ada beberapa pendapat tentang pengertian perkawinan, yaitu: menurut UU perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

Disamping definisi yang diutarakan oleh UU perkawinan no.1 tahun 1974 diatas, Kompalasi Hukum Islamdi Indonesia memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi UU tersebut, namun bersifat menambah penjelasan dengan rumusan sebagai berikut:

Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.(pasal 2)

Ungkapan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UU yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa” dalam UU. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin dari seorang pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam menaati perintah Allah dan merupakan suatu perbuatan ibadah. Berikut adalah suruhan Allah dalam Al-quran untuk melaksanakan perkawinan, firman-Nya dalam surat an-Nur ayat 32

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.





2.1 Hukum Perkawinan dalam Islam
Menurut sebagian besar Ulama’,hukum asal menikah adalah Mubah,yang artinya boleh dikerjakan dan boleh tidak.Apabila dikerjakan tidak mendapat pahala,dan jika tidak dikerjakan tidak mendapat dosa.Namun menurut Agama Islam yang menyatakan bahwa Nabiullah Muhammad SAW melakukan pernikahan,ini dapat diartikan juga bahwa pernikahan itu Sunnah adanya berdasarkan perbuatan yang pernah dilakukan beliau.Akan tetapi hukum pernikahan dapat berubah menjadi sunnah,wajib,makruh bahkan haram tergantung kondisi orang yang akan menikah tersebut.

A.    Perkawinan yang Hukumnya Wajib

Hukum yang bersifat wajib adalah hukum yang harus dijalani.Apabila dijalankan maka orang itu akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa.Jika seseorang dianggap mampu (usia,ekonomi,biologis,psikis) untuk menikah dan ia sangat beresiko terjebak perzinaan,maka orang tersebut wajib hukumnya untuk menikah karena kita tahu bahwa zina merupakan doa besar,dan kita wajib menghindari zina yang buruk tersebut.Jika jalan satu satu satunya untuk menghindari zina adalah menikah,maka nikah menjadi wajib hukumnya dimata Islam.

B.     Perkawinan yang Hukumnya Sunnah

Sunnah adalah hukum yang menganjurkan untuk melakukan amal tersebut jika dikerjakan maka memperoleh pahala .Namun jika tidak dikerjakan pun tidak akan mendapat dosa.Perkawinan dalam Islam menjadi sunnah kepada kondisi seseorang yang meskipun telah mampu untuk menikah tetapi ia masih bisa menjaga dirinya.Orang tersebut berada jauh dari resiko berzina,mungkin karena ia seorang yang soleh,yang bisa mengendalikan hawa nafsu,mungkin juga karena ia orang yang sibuk mengurusi umat sehingga tidak sempat menikah.
Meskipun hukumnya sunnah,menikah tetap dianjurkan bagi siapa saja yang sudah mampu,seperti yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW pada dua sabda yaitu :

Nabi Muhammad SAW bersabda,”Menikah adalah sunnahku.Siapa yang tidak mengamalkan sunnahku,ia bukan termasuk umatKu.Menikahlah sebab Aku akan senang dengan jumlah besar kalian dihadapan umat umat yang lain.Siapa yang telah memiliki kesanggupan,maka menikahlah,Jika tidak maka berpuasalah karena puasa adalah benteng.” (H.R.Ibn Majah)
           
            Nabi Muhammad SAW bersabda,” Wahai para pemuda,jika diantara kalian sudah memiliki kemampuan untuk menikah ,maka hendaklah dia menikah karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat memelihara kelamin (kehormatan) dan barang siapa tidak mampu menikah hendaklah ia berpuasa,karena puasa itu menjadi penjaga baginya.” (H.R Bukhari Muslim)

C.     Perkawinan yang Hukumnya Makruh

              Makruh artinya dianjurkan untuk tidak melakukan amal tersebut.  Kondisi yang menyebabkan perkawinan dalam Islam menjadi makruh misalnya jika laki laki tidak bisa memberika nafkah kepada istri sehingga biaya biaya hidup ditanggung istri atau bisa juga karena tidak adanya kemampuan seksual.

D.     Perkawinan yang Hukumnya Mubah

Hukum perkawinan dalam Islam yang mubah atau boleh jatuh
Kepada orang yang berada dalam kondisi tengah tengah.Ada alasan yang mendorong dia untuk menikah dan juga ada hal hal yang mencegahnya untu menikah.Orang tersebut dianjurkan untuk menikah,akan tetapi tidak ada alas an yang melarangnya untuk menikah.

E.     Perkawinan yang Hukumnya Haram

Hukum menikah akan berubah menjadi haram biasanya karena
beberapa hal misalnya apabila orang  yang Yang ingin menikah tersebut bermaksud untuk menyakiti salah satu pihak dalam pernikahan tersebut.Ada pula misalnya saja ada seorang wanita yang menikah dengan laki laki bukan agama Islam,maka hukum nya haram hukumnya.Kondisi lain misalnya menikahi orang yang muhrim (haram untuk dinikahi) seperti ayah,ibu,adik,sepup atau yang masih mempunyai ikatan kekeluargaan dengan salah satu pihak.
                       
Atau bisa karena disebabnya tidak sempurnanya rukun dan syarat dari perkawinan seperti ada tidaknya wali dan saksi dan sebagainya.Bagi laki laki juga haram hukumnya menikahi seorang wanita yang sedang dalam masa iddah dan wanita yang telah ditalak tiga sebelum ia menikah dan bercerai dengan laki laki lain.Selain itu pernikahan kontrak yang sekarang ini sering menjadi tren di masyarakat juga dikatagorikan sebagai perkawinan yang apabila dilakukan hukumnya haram.


2.2 Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam
           
            Dewasa ini,di dalam kehidupan kehidupan kita pernikahan antara dua orang yang se-agama merupakan hal yang biasa dan memang itu yang dianjurkan di dalam agama Islam.Tetapi pada saat sekarang masyarakat sering mengatasnamakan kepentingan lainnya agar dapat melakukan pernikahan beda agma atau nikah campur karena mereka kebanyakan mengatasnamakan cinta untuk mengusahakan apa yang mereka inginkan.Hal ini sebenarnya sudah diatur dengan secara baik di dalam agam Islam.

            2.2.1 Pengertian Non-Muslim di dalam Islam
                       
                        Sebelum kita membahas tentang pernikahan Beda Agama,sebaiknya kita perlu mengetahui tentang perngertian non-muslim di dalam agama Islam.Golongan non-muslim sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a.       Golongan Orang Musyrik

Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman 282 karya As Syech Muhammad Ali S Shobuni,orang musrik ialah orang orang yang telah berani menyekutukan ALLAH SWT dengan makhlukNYA (penyembahan patung ,berhala dsb)

b.      Golongan Ahli Kitab

Menurut Kitab Rowaa’iul Bayyan tafsir Ayyah Arkam juz 1 halaman As Syech Muhammad Ali As Shobuni,Ahli Kitab adalah mereka yang berpegang teguh pada Kitab Taurat yaitu agama Nabi Musa As,atau mereka yang berpegang teguh pada Kitab Injil agama Nabi Isa as.atau banyak pula yang menyebut sebagai agama samawi atau agama yang diturunkan langsung dari langit yaitu Yahudi dan Nasrani.
Mengenai istilah Ahli Kitab ini,terdapat perbedaan pendapat diantara kalangan Ulama’berpendapat bahwa mereka semua kaum Nasrani termasuk yang tinggal di Indonesia ialah termasuk Ahli Kitab.Namun ada juga yang berpendapat bahwa Ahli Kitab ialah mereka yang nasabnya (menurut silsilah sejak nenek moyangnya terdahulu)ketika diturunkan sudah memeluk agama nasrani di Indonesia berdasarkan pendapat sebagian ulama’tidak termasuk Ahli Kitab.


2.2.2 Pembagian perkawinan Beda Agama dalam Hukum Islam

                  Secara umum pernikahan lintas agama atau beda agama dalam Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :

A.    Perkawinan antar pria Muslim dengan wanita Non-Muslim
Dalam Islam ,pernikahan antara pria muslim dengan wanita non-muslim Ahli Kitab itu,menurut pendapat sebagai Ulama diperbolehkan.Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya “(Dan dihalalkan menikahi)perempuan perempuan yang menjaga kehormatan dan dari kalangan ahli kitab sebelum kamu)”
Namun ada beberapa syarat yang diajukan apabila akan melaksanakan hal tersebut yaitu :
1.      Jelas Nasabnya
Menurut silsilah atau menurut garis keturunannya sejak nenek moyang  adalah ahli kitab.Jadi dapat dikatakan bahwa sebagian besar kaum nasrani di Indonesia bukan merupakan golongan ahli kitab.
2.      Wanita Ahli Kitab tersebut nantinya mampu menjaga anaknya kelak dari bahaya fitnah.
Ada beberapa Hadits Riwayat Umar bin Khatabb,Usman bin Affan pernah berkata “pria Muslim diperbolehkan menikah dengan wanita ahli Kitab dan tidak diperbolehkan pria Ahli Kitab menikah dengan wanita Muslimah”Bahkan Sahabat Hudzaifah pernah menikah dengan wanita Ahli Kitab tetapi pada akhirnya wanita tersebut masuk Islam.Dengan demikian ,keputusan untuk memperbolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab sudah merupakan Ijma’(artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-Quran dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi)para sahabat.Tetapi dalam Kialtab Al-Mughni juz 9 halaman 545 karya Imam Ibnu Qudamah,Ibnu Abbas pernah menyatakan ,hukum pernikahan dalam Qs.Al Baqarah ayat 221 dan Qs.Al Mumtahanah ayat 10 diatas telah dihapus (mansukh)  oleh Qs.Al-Maidah ayat 5 .Karena yang berlaku adalah hukum dibolehkannya pernikahan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab.Sedangktap diharamkan pernikahan antara pria muslim dengan wanita musrik,menurut kesepakatan para ulama’tetap diharamkan ,apapun alasannya karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.

B.     Pernikahan Antara Pria Non-Muslim Dengan Wanita Muslimah

Pernikahan antara wanita muslimah dengan pria non muslim,menurut kalangan Ulama’tetap diharamkan ,baik menikah dengan pria Ahli Kitab maupun dengan seorang pria musrik.Hal ini dikhawatirkan wanita yang telah menikah dengan pria non-muslim tidak dapat menahan godaan yang akan datang kepadanya.Seperti halnya wanita tersebut tidak dapat menolak permintaan sang suami yang mungkin bertentangan dengan syariat Islam,atau wanita itu tidak dapat menahan godaan yang datang dari lingkungan suami yang tidak seiman yang mungkin cenderung lebih dominan.
Dalil naqli pernyataan tentang haramnya pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa Allah SWT hanya memperbolehkan pernikahan seorang pria muslim dengan wanita Ahli Kitab tidak sebaliknya.Seandainya pernikahan ini diperbolehkan ,maka Allah SWT pasti akan menegaskannya di dalam Al-Quran.Karenanya,berdasarkan mahfum al-mukhalafah,secara implicit Allah SWT melarang pernikahan tersebut.



2.3 Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum di Indonesia

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991
Dan Keputusan MenteriAgama Nomor 154 tahun 1991 keluarlah KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) yang menjadi hukum positif unikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para hakim di lembaga peradilan agama dan menjalankan tugas mengadili perkara – perkara dalam bidang perkawinan,kewarisan dan perwakafan.
            Apabila dilihat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 ayat (c) yang bunyinya “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”Larangan perkawinan tersebut memiliki alasan yang cukup kuat yaitu apabila ditinjau dari segi UU perkawinan pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1/1974 sudah jelas diterangkan bahwa “tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya”sehingga antara KHI dan hukum perkawinan di Indonesia memiliki kaitan dalam urusan perkawinan Beda Agama ini.Alasan yang kedua yaitu apabila dihubungkan dengan dalil – dalil hukum Islam diantaranya larangan tersebut sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat perkawinan Beda agama tersebut.
            Pada prinsipnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam ( Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221),sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang wanita dari Ahli Kitab (Nasrani/Yahudi) ada pada surat Al-Maidah ayat 5 hanyalah dispensasi bersyarat yakni kualitas iman dan Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik.karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang sangat tinggi bagi rumah tangga nya nanti.Karena itu pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama Muslim (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam(pria/wanita)apapun agamanya yang juga didukung oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 50 ayat (c) dan pasal 4

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
                 Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pernikahan antara pria Muslim dengan wanita Ahli Kitab diperbolehkan dalam Islam tetapi tidak berlaku sebaliknya karena perkawinan antara pria non muslim dan wanita muslim apapun alasannya tetap diharamkan oleh Islam.Akan tetapi perkawinan beda agama antara pria muslim dan wanita ahli kitab saat ini tidak dapat dikatakan sah karena hampir tidak ada wanita Ahli Kitab yang berpegang teguh kepada Kitab Taurat dan Injil.Sedangkan apabila ditinjau dari segi hukum Indonesia bahwa dalam Hukum Perkawinan pada pasal 2 ayat 1 UU nomor 1/1974 tentang perkawinan tidak dibenarkan dan dilarang adanya perkawinan beda agama karena memiliki alasan - alasan tertentu yang berkaitan dengan rumah tangga perkawinan tersebut.Sedangkan bila dilihat dari segi hukum yang berada dalam Al-Quran bahwa segala hal yang mengatur tentang perkawinan dan izin perkawinan beda agama dapat ditinjau dari surat Al-Baqarah dan surat Al-Maidah dan disesuaikan dengan Iman dan pemikiran masing masing.

5.2 Saran
                 Sebagaimana kita adalah umat beragama seharusnya kita perlu benar benar dapat mengerti dan memahami segala aturan yang bersifat fundamental dan yang bersifat norma yang ada dalam agama kita masing masing.Seperti halnya dalam masalah perkawinan beda agama yang penulis bahas pada kesempatan ini.Perlu diadakan suatu pembelajaran lanjutan dan kajian mengenai bagaimana sebenarnya perkawinan beda agama apabila ditinjau dari segi agama islam(perbandingan dari surat Al-Baqarah dan Maidah) dengan hukum yang ada di Indonesia sehingga pembaca dapat benar benar memahami perihal perkawinan beda agama secara mendetail lagi.


             Dalam menangani suatu perkara hukum, diperlukan proses pencarian fakta-fakta hukum yang masih belum diketahui. Untuk mendapatkan suatu fakta hukum dalam suatu perkara diperlukan adanya alat bukti. Alat bukti ini diperlukan dalam proses pembuktian dalam proses peradilan.
            Alat bukti yang digunakan dalam penanganan kasus perdata dan pidana memiliki perbedaan, perbedaan ini terletak pada tata urutanya. Tata urutan ini memiliki kekuatan hukum yang berbeda, dalam kasus perdata dan kasus pidana tata urutan ini berbeda. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengenai alat bukti diatur dalam pasal 184, tata urutanya yaitu :
1. keterangan saksi
2. keterangan ahli
3. surat
4. petunjuk
5. keterangan terdakwa.
            Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang berupa keteranagn dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang dia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari  pengetahuan itu. Dalam perkara pidana keterangan saksi mendapat urutan paling penting dikarenakan keterangan saksi dinilai paling penting dalam membuktikan suatu peristiwa hukum. Selanjutnya keterangan ahli yang merupakan keterangan yang diberikan  oleh seorang yang memiliki keahlian khusus pada bidang tertentu. Keterangan ahli ini dapat dijadikan alat bukti untuk mendapatkan suatu fakta mengenai peristiwa hukum. Keterangan ahli ini memiliki posisi yang lebih penting lagi, keterangan ahli ini dapat dijadikan dasar bagi seorang hakim untuk mendapatkan kronologi suatu peristiwa dilihat dari sisi ilmu pengetahuan dari seorang ahli. Disini tidak semua keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti, hanya keterangan ahli yang memenuh syarat-syarat kesaksian yang telah diaturdalam pasal 186 KUHAP.
               Alat bukti berupa surat telah diatur dalam pasal 184 ayat (1) huruf c, menurut pasal ini alat bukti yang berupa surat harus dibuat atas sumpah jabatan atau kutipan dengan sumpah.  Surat-surat yang dapat dijadikan alat bukti dalam perkara pidana meliputi :
  1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapanya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keteranganya itu
  2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu kejadian.
  3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapatberdasarkan keahlianya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.
  4. Surat lain  yang hanya dapat berlaku jika ada hubunganya dari isi alat pembuktian yang lain.
          Setelah alat bukti berupa surat, urutan berikutnya adalah petunjuk, yang dimaksud petunjuk merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaianya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siap pelakunya ( Pasal 188 ayat (2) KUHAP). Petunjuk sebagaimana sebagaimana tersebut dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh  dari :
  1. Keterangan saksi
  2. Surat
  3. Keterangan terdakwa
           Penulisan atas kekuatan pembuktian dari suatu  petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nurani (Pasal 188 ayat (3) KUHAP).
               Yang menjadi urutan yang terakhir alat bukti dalam perkara pidana adalah keterangan terdakwa, pasal 189 KUHAP menegaskan :
1)      Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2)      Keterangan terdakwa yang diberikan di luar siding dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3)      Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri
4)      Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

               Dalam penanganan perkara perdata, susunan alat buktinya berbeda dengan susunan alat bukti dalam perkara pidana, mengenai alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam pasal 164 HIR, pasal 284 Rbg, dan pasal 1866 BW, tata urutanya yaitu :
1.      alat bukti tertulis
               Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, pasl 164,285-305 Rbg. S 1867 no. 29 dan pasal 1867 – 1894 BW serta pasal 138-147 Rv.
               Alat bukti tertulis atau surat merupakan segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan. Akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidakla termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.

2.      pembuktian dengan saksi
               Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR (pasal 165 – 179 Rbg), 1895 dan 1902 – 1912 BW.
               Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan, jadi keteranagan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir tidaklah merupakan kesaksian. Hal ini dapat disimpulkan dari pasal 171 ayat 2 HIR (pasal 308 ayat 2 Rbg, 1907 BW).

3.      persangkaan-persangkaan
               Pasal 164 HIR (pasal 284 Rbg, 1866 BW) menyebut sebagai alat bukti sesudah saksi : persangkaan-persangkaan (vermoedens, presumption). Pengertian persangkaan merupakan alat bukti yang bersifat tidak langsung, misalnya saja pembuktian daripada ketidak hadiran seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kehadiranya pada waktu yang sama di tempat lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir sebagai persangkaan.
  
4.      pengakuan
               Pengakuan   (bekentenis confession) diatur dalam pasal 174, 175, 176 HIR, pasal 311,312,313 Rbg, dan pasal 1923 -1928 BW. Pengakuam merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal lat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa. Dalam hal ini HR tidak selalu menunjukan pendirian yang tetap; pada suatu ketika pengakuan secara diam-diam diterima. Tetapi pada saat lain menolak pengakuan secara diam-diam.

5.      sumpah

               Alat bukti sumpah diatur dalam pasal 155-158, 177 HIR, pasal 182-185 Rbg dan pasal 1929-1945 BW. Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan. Dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNYA. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.
Diberdayakan oleh Blogger.